Selama beberapa dekade, cetak biru sistem pendidikan kita dirancang seperti sebuah pabrik: siswa masuk, diberi instruksi yang seragam (hafalkan fakta ini, kerjakan soal itu), dan diharapkan keluar dengan stempel “lulus”. Fokus kita adalah pada kuantitas—seberapa banyak materi yang bisa kita ‘transfer’ ke dalam kepala siswa.
Kini, model pabrik itu di ambang kebangkrutan.
Kita hidup di era di mana Artificial Intelligence (AI) dapat menghafal lebih banyak fakta dalam sedetik daripada yang bisa dilakukan manusia seumur hidupnya. Skor PISA (Programme for International Student Assessment) kita secara konsisten menunjukkan bahwa kemampuan analitis dasar siswa kita tertinggal. Di saat yang sama, kita menghadapi “mental block” nasional di mana mata pelajaran krusial seperti Matematika dan Sains (STEM) dianggap sebagai monster yang menakutkan.
Kita tidak lagi bisa bersaing dalam permainan “transfer” informasi. Aturannya telah berubah. Masa depan bukan milik mereka yang tahu banyak, tapi milik mereka yang bisa melakukan sesuatu dengan pengetahuan itu.
Di tengah persimpangan sejarah inilah, sebuah pergeseran fundamental sedang digulirkan. Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Abdul Mukti, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah secara perlahan membongkar pasang fondasi lama. Kata kuncinya bukan lagi “transfer”, tapi “transformasi”.
Akhir dari Era “Pabrik Hafalan”
Kebijakan baru ini dimulai dari sebuah gagasan filosofis: pendidikan bukanlah proses memindahkan informasi, tapi proses memuliakan tiga elemen sekaligus: memuliakan murid, memuliakan guru, dan memuliakan ilmu itu sendiri.
Untuk mencapai ini, program otentik yang disebut “Pembelajaran Mendalam” (Deep Learning) diperkenalkan. Ini adalah antitesis dari model pendidikan kita sebelumnya.
Fokusnya bergeser total. Bukan lagi soal how much (seberapa banyak bab yang selesai), tapi soal how well (seberapa baik satu konsep dipahami). Pembelajaran Mendalam menuntut siswa untuk memahami materi secara menyeluruh dan, yang terpenting, mengaitkannya dengan kehidupan nyata. Ini adalah pergeseran dari hafalan yang miskin konteks, menuju pemahaman yang kaya makna.
Sederhananya, sistem lama menghasilkan siswa yang bisa menyebutkan rumus optik. Sistem baru bertujuan menghasilkan siswa yang bisa menjelaskan “bagaimana sebuah kamera bekerja?”.
Menjinakkan Monster Bernama STEM
Mari kita bicara jujur tentang salah satu bom waktu terbesar dalam peradaban kita: kebencian kolektif terhadap Matematika. Selama bertahun-tahun, Matematika (dan kerabatnya, Fisika) secara konsisten tercatat sebagai “pelajaran yang paling tidak disukai” di sekolah.
Ini bukan sekadar preferensi; ini adalah sebuah mental block psikologis skala nasional. Kita telah menciptakan generasi yang menyerah bahkan sebelum perang dimulai, yang merasa “tidak berbakat” dalam sains hanya karena mereka dipaksa menghafal sesuatu yang tidak mereka pahami.
Ketakutan ini bukan tanpa sebab. Ia lahir dari metode “pabrik hafalan” yang kita bahas sebelumnya. Pendidikan STEM kita terlalu lama berfokus pada how much—seberapa banyak rumus yang bisa dihafal—dan gagal total pada how well—seberapa dalam konsep itu dipahami. Rumus-rumus abstrak itu terasa asing, terputus dari realitas, dan akhirnya hanya menjadi beban ingatan yang menyakitkan.
Hasilnya? Skor PISA kita dalam sains dan matematika terus terpuruk. Ini bukan lagi sekadar masalah akademis, ini adalah masalah strategis nasional. Inilah mengapa revitalisasi STEM menjadi prioritas yang dimandatkan langsung oleh Presiden.
Namun, solusinya bukanlah menambah jam pelajaran atau memperbanyak hafalan. Solusinya adalah sebuah intervensi psikologis besar-besaran yang diringkas dalam slogan “STEM yang Mudah, Murah, dan Menyenangkan (3M)”.
Pendekatan “3M” secara fundamental membalik logika pengajaran. Alih-alih memulai dengan teori dan rumus yang rumit, pembelajaran dimulai dengan menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity). Jangan sodorkan rumus optik; tanyakan “bagaimana sebuah kamera bekerja?”. Jangan jejali siswa dengan teori termodinamika; ajak mereka berpikir “mengapa air panas bisa mendidih?”.
Implementasinya ditarik mundur sedini mungkin. Logika matematika dasar diperkenalkan sejak Taman Kanak-kanak (TK), bukan melalui buku teks, tapi melalui metode bermain yang konkret. Menyusun balok berdasarkan warna adalah fondasi awal dari pengelompokan data. Melompat di atas gambar bangun datar adalah pengenalan intuitif pada geometri.
Ini adalah strategi untuk membuat ilmu menjadi bermakna (how well) karena ia dikontekstualisasikan dengan kehidupan sehari-hari. Begitu rasa ingin tahu tumbuh, teori dan rumus akan hadir sebagai jawaban yang memuaskan, bukan sebagai hukuman yang harus dihafal. Kita sedang berusaha menjinakkan monster itu dengan cara membuatnya relevan.
Pertaruhan Terbesar: Guru sebagai “Agen Peradaban”
Visi “Pembelajaran Mendalam” dan “STEM 3M” adalah strategi yang indah di atas kertas. Namun, keduanya akan gagal total tanpa satu elemen krusial: guru.
Selama ini, guru sering diposisikan sebagai “agent of learning”—petugas yang bertugas menyampaikan materi kurikulum. Visi baru ini menuntut peran yang jauh lebih besar: guru sebagai “agent of civilization” atau agen peradaban.
Posisi ini menempatkan guru sebagai figur sentral dalam membangun karakter, menanamkan nilai, dan membentuk fondasi peradaban bangsa. Tentu saja, peran semulia ini tidak bisa dibebankan pada pundak yang rapuh.
Oleh karena itu, dua intervensi struktural dilakukan. Pertama, kebijakan “Hari Belajar Guru”, di mana satu hari dalam seminggu dialokasikan bagi guru untuk belajar dan meningkatkan kompetensi mereka (dan ini dihitung sebagai jam mengajar). Ini adalah pergeseran dari “pelatihan” yang insidental menjadi “pembelajaran” yang berkelanjutan.
Kedua, peningkatan kesejahteraan. Tunjangan sertifikasi dan insentif guru ditingkatkan secara signifikan dan ditransfer langsung ke rekening masing-masing. Ini adalah sebuah kontrak sosial baru: negara berinvestasi serius pada guru, sebagai ganti dari tuntutan transformasi profesional total dari mereka.
Manusia Melawan Mesin: Menavigasi Dilema “Brain Rot”
Ancaman terbesar sekaligus peluang terbesar bagi model pendidikan kita adalah Artificial Intelligence (AI). Kehadirannya secara instan membuat “pabrik hafalan” menjadi usang. Untuk apa menghafal fakta jika mesin di saku kita bisa melakukannya triliunan kali lebih baik?
Kementerian tidak menolak teknologi ini; itu sia-sia. Sebaliknya, mereka mencoba mengintegrasikannya secara pragmatis. AI dan coding kini diperkenalkan sebagai mata pelajaran pilihan, dimulai secara bertahap sejak kelas 5 SD. Ini adalah langkah logis, di mana kesiapan infrastruktur dan guru (yang juga mulai dilatih) menjadi penentu kecepatan adopsi.
Namun, di balik integrasi ini, tersimpan sebuah dilema yang jauh lebih dalam: kekhawatiran akan fenomena brain rot atau “pembusukan otak”.
AI adalah alat “jalan pintas” (shortcut) terbaik yang pernah diciptakan dalam sejarah manusia. Ia sangat cepat dan unggul dalam menyediakan apa yang disebut sebagai “pengetahuan deklaratif”—kumpulan fakta yang terstruktur. Anda bisa memintanya meringkas Perang Dunia II dalam 30 detik, dan ia akan melakukannya dengan sempurna.
Bahayanya adalah, siswa menjadi terbiasa mengambil jalan pintas. Mereka melompat langsung ke kesimpulan (sintesis) tanpa pernah melalui proses analisis yang menyakitkan. Ketika otak tidak lagi dilatih untuk bekerja keras—untuk membandingkan, membantah, dan berpikir secara mendalam—otot kognitif itu akan mengalami atrofi. Inilah inti dari “brain rot”.
Di sinilah kita melihat batas kemampuan mesin. AI (saat ini) tidak bisa menggantikan riset manusia. Ia tidak bisa naik ke level “pengetahuan prosedural”—kemampuan untuk menghubungkan berbagai fakta yang tampaknya tidak terkait, memahami konteks yang kompleks, dan menciptakan makna atau penemuan baru yang orisinial. AI bisa menjelaskan semua penyebab kanker yang diketahui, tapi ia tidak bisa merasakan intuisi atau frustrasi yang mendorong seorang ilmuwan di laboratorium untuk menemukan obat baru.
Peran guru sebagai agen peradaban, oleh karena itu, menjadi semakin krusial. Tugas guru bukan lagi menjadi sumber fakta. Tugas guru adalah menjadi penangkal “brain rot”.
Guru adalah benteng terakhir yang memaksa siswa untuk mempraktikkan critical thinking (berpikir analitis). Guru harus menjadi sosok yang tidak puas dengan jawaban instan dari AI. Mereka harus menjadi orang yang terus bertanya, “Mengapa begitu? Dari mana sumbernya? Apa argumen tandingannya? Bagaimana jika konteksnya diubah?”
Tujuannya jelas: kita sedang mempersiapkan generasi yang mampu memerintah AI, bukan generasi yang secara kognitif digantikan olehnya.
Ekosistem Aman: Disiplin Tanpa Kekerasan
Transformasi di ruang kelas tidak akan terjadi jika sekolah itu sendiri bukan tempat yang aman. Kita tidak bisa bicara soal “Pembelajaran Mendalam” jika siswa datang ke sekolah dengan rasa takut. Kita menghadapi epidemi kekerasan, perundungan (bullying), dan, yang lebih berbahaya, sebuah fenomena kelumpuhan: guru yang takut menegakkan disiplin karena risiko kriminalisasi.
Selama ini, respons kita terhadap kekerasan bersifat reaktif dan punitif—kita menghukum pelaku setelah kejadian. Pendekatan baru ini bergeser total. Ia bersifat preventif dan kultural. Alih-alih hanya fokus pada aturan yang lebih ketat, kebijakan ini mencoba mengubah budaya dan relasi kuasa di dalam ekosistem sekolah itu sendiri. Ini diwujudkan melalui tiga pilar.
Pilar pertama adalah Optimalisasi Peran Guru Wali. Secara historis, tugas “membimbing” siswa adalah tugas moral yang tidak terukur, seringkali dibebankan hanya pada guru Bimbingan dan Konseling (BK). Kebijakan baru “5M” (Merencanakan, Melaksanakan, Menilai, Membimbing, dan Melaksanakan tugas tambahan) mengubah ini menjadi tugas profesional yang legal bagi semua guru. Peran “Membimbing”—secara psikologis, sosial, dan akademik—kini secara resmi diakui dan dihitung setara dengan jam mengajar. Implikasinya jelas: ini adalah perisai hukum. Tindakan guru dalam mendisiplinkan atau membimbing siswa bukan lagi tindakan personal yang berisiko kriminalisasi, melainkan pelaksanaan tugas profesional yang dilindungi negara.
Pilar kedua adalah Duta Anti-Kekerasan Siswa. Kebijakan ini mengakui satu kebenaran psikologis yang sering diabaikan orang dewasa: remaja lebih percaya pada teman sebayanya. Duta ini, yang diambil dari OSIS atau Pramuka, dilatih sebagai “edukator sebaya” (peer educator). Mereka bukanlah “mata-mata” guru, melainkan saluran curhat—sebuah safe space—yang lebih efektif dan lebih cepat mendeteksi masalah. Dalam ekosistem sekolah, seringkali siswa yang melihat dan mendengar pertama kali. Pilar ini memberdayakan mereka untuk menjadi bagian dari solusi, bukan hanya penonton pasif.
Pilar ketiga adalah Penguatan Aktualisasi Diri, dengan mengembalikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib. Analisisnya sederhana: kekerasan seringkali lahir dari energi muda, agresi, dan pencarian identitas yang tidak tersalurkan secara positif. Pramuka menyediakan ruang yang terstruktur, hierarkis, dan berbasis aktivitas untuk membangun karakter, kepemimpinan, dan kerja sama. Ini bukan sekadar nostalgia seragam coklat; ini adalah strategi untuk menyediakan sarana aktualisasi diri yang positif dan terarah.
Akar masalah kekerasan di sekolah seringkali adalah “power relation” (relasi kuasa) yang tidak seimbang—antara si kuat dan si lemah, si kaya dan si miskin, si populer dan si terpinggirkan. Tiga pilar ini—Guru Wali (otoritas profesional yang peduli), Duta Siswa (kekuatan sebaya yang positif), dan Pramuka (aktivitas yang terarah)—adalah upaya terkoordinasi untuk menyeimbangkan kembali relasi kuasa tersebut dari dalam, menciptakan ekosistem yang aman untuk belajar.
Revolusi Sunyi di Ruang Ujian: Membongkar Tirani “Lulus atau Gagal”
Semua reformasi pedagogi—Pembelajaran Mendalam, STEM 3M, critical thinking—akan lumpuh jika di akhir jalan siswa dan guru tetap ditodong dengan satu pistol: Ujian Nasional (UN).
Selama puluhan tahun, Ujian Nasional yang bersifat high-stakes (berisiko tinggi) adalah tirani yang sesungguhnya dalam sistem kita. Ia adalah ritual penghakiman massal yang memaksa seluruh ekosistem pendidikan berfokus pada satu tujuan sempit: “lulus”. Ini menciptakan budaya “mengajar demi ujian” (teaching to the test), di mana proses belajar yang kaya makna dikorbankan demi strategi menaklukkan soal pilihan ganda.
Kini, tirani itu dibongkar secara struktural melalui reformasi sistem evaluasi nasional. Bagian yang krusial adalah pengenalan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang baru.
Perbedaannya fundamental. Tidak seperti Ujian Nasional, TKA yang baru bersifat sukarela (tidak wajib) bagi siswa. Poin yang paling penting: hasil TKA tidak menjadi penentu kelulusan.
Implikasi dari kebijakan ini jauh lebih besar dari yang terlihat. Dengan memutus hubungan antara tes dan kelulusan, negara secara efektif “membebaskan” guru dan siswa dari tekanan penghakiman. Guru tidak lagi dipaksa mengejar target ujian. Mereka kini memiliki otonomi profesional dan ruang kognitif untuk benar-benar menerapkan “Pembelajaran Mendalam”.
Ini adalah langkah membebaskan yang mutlak diperlukan. Anda tidak bisa meminta guru untuk mengeksplorasi rasa ingin tahu siswa jika pada akhirnya mereka dihakimi oleh skor. Reformasi TKA ini bukanlah penghapusan standar, melainkan perubahan fungsi evaluasi: dari alat penghakiman menjadi alat pemetaan (diagnosis) untuk perbaikan.
Panggilan untuk Bergotong-Royong
Pada akhirnya, apa yang sedang dibangun bukanlah sekadar serangkaian kebijakan baru. Ini adalah sebuah desain holistik untuk mereparasi mesin yang mencetak masa depan Indonesia. Mulai dari reformasi evaluasi yang membebaskan guru dari tirani “mengajar demi ujian”, hingga panggilan untuk “Partisipasi Semesta” atau gotong-royong.
Pendidikan adalah tanggung jawab yang terlalu besar untuk diserahkan pada sekolah semata. Seperti kata pepatah bijak, “untuk mendidik satu orang anak, diperlukan orang satu kampung.”
Cita-cita akhirnya bukanlah sekadar skor PISA yang lebih baik. Cita-cita akhirnya adalah mencetak manusia Indonesia yang utuh: cerdas secara akademik, kritis dalam berpikir, dan mulia dalam karakter. Ini adalah proyek peradaban jangka panjang, dan kita semua—keluarga, masyarakat, dan media—dipanggil untuk menjadi bagian di dalamnya.
Refleksi Penutup
Analisis dan pemikiran dalam artikel ini diinspirasi oleh diskusi mendalam bersama Mendikdasmen, Prof. Dr. Abdul Mukti. Bagi Anda yang ingin mendengar langsung gagasan-gagasan fundamental ini—mulai dari kekhawatiran “brain rot”, nasib guru, hingga strategi menjinakkan STEM—Anda dapat menyimaknya secara utuh dalam wawancara di kanal YouTube Kompas.com (Naratama):
Mendikdasmen Jawab Kekhawatiran “Brain Rot” , Nasib Guru ke Depan, & Mengapa STEM Susah? | Naratama










