Beberapa waktu terakhir, kita disuguhkan berita panas: biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) meroket, bahkan muncul skandal pinjaman online (pinjol) untuk membayar kuliah. Banyak yang marah dan bingung. Mengapa biaya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” tiba-tiba terasa seperti transaksi komersial yang mencekik?
Jawabannya, ironisnya, tidak terletak pada keserahan rektorat. Akar masalahnya jauh lebih dalam dan sistemik. Tanpa kita sadari, universitas-universitas kita sedang terjebak dalam “Mandat yang Mustahil”.
Kita sedang menyaksikan perlombaan senjata global—bukan nuklir, tapi riset. Dan Indonesia, dalam ambisinya untuk menjadi negara maju, telah memaksa universitasnya ikut dalam perlombaan ini tanpa bekal yang cukup. Hasilnya? Tekanan finansial itu tidak ditanggung oleh negara, tapi dilimpahkan ke bahu mahasiswa.
Dua Takdir Universitas: Mengajar atau Meneliti?
Dalam sejarah modern, universitas memiliki dua misi utama yang seringkali disalahpahami. Memahaminya adalah kunci untuk membongkar masalah kita.
- Universitas Pengajaran (Teaching University) Misinya sederhana dan mulia: menyebarkan pengetahuan. Fokus utamanya adalah “pengasuhan dan pelatihan” mahasiswa. Sukses diukur dari seberapa baik proses belajar-mengajar, seberapa tinggi kepuasan mahasiswa, dan seberapa cepat lulusan mendapat pekerjaan yang relevan. Ini adalah model universitas yang fokus “ke dalam”.
- Universitas Riset (Research University) Misinya ganda: tidak hanya menyebarkan, tapi juga “menciptakan” pengetahuan baru. Prioritas tertingginya adalah penemuan, inovasi, dan publikasi ilmiah. Sukses diukur dari jumlah artikel di jurnal bergengsi, berapa kali karya ilmiahnya dikutip, dan—ini yang terpenting—jumlah dana hibah riset yang berhasil dimenangkan. Ini adalah model universitas yang fokus “ke luar”.
Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Keduanya adalah model berbeda untuk tujuan berbeda. Masalah muncul ketika kita menuntut satu model untuk berperilaku seperti model lainnya.
Mesin Inovasi: Evolusi Ide di Balik Obsesi Riset
Mengapa begitu banyak negara, termasuk Indonesia, terobsesi mengubah universitasnya menjadi mesin riset? Jawabannya adalah evolusi ide selama 200 tahun tentang apa itu “pengetahuan” dan “kemajuan”. Obsesi ini tidak statis; ia dibangun di atas empat pilar teoretis yang mengubah cara kita berpikir.
- Pilar 1: Jiwa Universitas (Model Humboldtian) Semua dimulai di Berlin pada tahun 1810. Sebelum Wilhelm von Humboldt, universitas adalah tempat “mengajar” buku-buku lama. Humboldt memperkenalkan ide radikal: “kesatuan riset dan pengajaran”. Baginya, dosen harus menjadi peneliti aktif, dan mahasiswa harus belajar dengan cara ikut serta dalam proses penemuan. Inilah “jiwa” universitas riset modern—tempat di mana pengetahuan tidak hanya disuap, tapi dikejar.
- Pilar 2: Pergeseran Konteks (Mode 1 vs. Mode 2) Selama satu abad, model Humboldtian (Mode 1) mendominasi: riset bersifat disipliner (fisika murni, kimia murni) dan didorong oleh rasa ingin tahu. Namun, di akhir abad ke-20, muncul “Mode 2”. Masyarakat menuntut solusi untuk masalah nyata: perubahan iklim, pandemi, krisis energi. Riset “Mode 2” bersifat transdisipliner (melibatkan insinyur, sosiolog, ekonom) dan terjadi dalam “konteks aplikasi”. Universitas riset modern dipaksa bergeser dari sekadar “ingin tahu” menjadi “bisa menyelesaikan apa”.
- Pilar 3: Mesin Ekonomi Baru (Triple Helix) Pergeseran ke “Mode 2” melahirkan pertanyaan baru: siapa yang mendanai dan menggunakan riset ini? Jawabannya adalah model “Triple Helix”. Teori ini mengatakan bahwa inovasi dalam masyarakat modern tidak lagi hanya muncul dari universitas. Inovasi paling efektif lahir dari kemitraan strategis yang tumpang tindih antara tiga pilar: Universitas (pencipta talenta & pengetahuan), Industri (penerap & komersialisasi), dan Pemerintah (regulator & penyandang dana riset dasar). Negara-negara sadar bahwa pertumbuhan ekonomi tidak lagi hanya bergantung pada pabrik, tapi pada ide yang lahir dari interaksi ketiga pilar ini.
- Pilar 4: Panduan Manajemen (Universitas Wirausaha) Jika Triple Helix adalah “apa”, maka teori “Universitas Wirausaha” dari Burton R. Clark adalah “bagaimana”-nya. Clark mempelajari universitas yang berhasil bertransformasi dan menemukan lima elemen praktis: harus ada “inti pengarah yang kuat” (rektorat yang visioner), “unit pengembangan periferal” (jembatan ke industri), dan “basis pendanaan yang terdiversifikasi”. Ini adalah panduan manajemen perubahan untuk beralih dari birokrasi kaku menjadi organisasi yang gesit dan inovatif.
Keempat pilar inilah yang menciptakan “obsesi” global saat ini. Negara-negara melihat universitas riset bukan lagi sekadar sebagai lembaga pendidikan, tapi sebagai mesin ekonomi strategis.
Kisah sukses transformasi ini menunjukkan tidak ada jalan tunggal. Ada dua jalur ekstrem yang bisa dipelajari: model “didorong pemerintah” ala Singapura, dan model “didorong industri” ala Inggris.
- Studi Kasus 1: NTU Singapura (Model Top-Down Ekstrem) Singapura tidak main-main. Transformasi Nanyang Technological University (NTU) adalah contoh “rekayasa” nasional yang brutal dan efektif. Awalnya, NTU (dulu NTI) adalah institut yang fokus mengajar insinyur berorientasi praktik. Namun, Pemerintah Singapura memutuskan ekonomi mereka harus berbasis pengetahuan. Melalui National Research Foundation (NRF), mereka menyuntikkan miliaran dolar. Ini bukan evolusi; ini adalah penciptaan “top-down” yang disengaja. NTU secara drastis mengubah KPI internal dosen. Promosi dan jabatan (tenure) tidak lagi didasarkan pada lama mengajar, tapi pada jumlah publikasi, sitasi, dan dana hibah yang dimenangkan. Untuk mempercepatnya, mereka “merekrut bintang”—membajak profesor-profesor riset terkemuka dari seluruh dunia. Hasilnya? Dalam 25 tahun, NTU melesat dari universitas tak dikenal menjadi peringkat 12 dunia. Kuncinya: Visi nasional, didanai penuh, dan kemauan politik untuk memaksakan perubahan.
- Studi Kasus 2: Warwick, Inggris (Model Hibrida Bottom-Up) Jalur Warwick sangat berbeda. Ia tidak didanai besar oleh negara untuk mengejar peringkat. Warwick didirikan pada tahun 1965 sebagai bagian dari gelombang universitas “Plateglass”—universitas baru yang dibangun untuk menantang tatanan lama (seperti Oxford dan Cambridge) dengan arsitektur modern dan fokus radikal pada relevansi. Warwick adalah contoh sempurna “Universitas Wirausaha”. Inovasi terbesarnya bukanlah pada riset murni, tapi pada penciptaan Warwick Manufacturing Group (WMG) pada tahun 1980. Ini adalah “unit periferal” (istilah dari Clark) yang sempurna. WMG adalah unit hibrida—ia adalah departemen akademik sekaligus konsultan industri berbayar. Misinya adalah menjembatani akademisi dan industri secara langsung. Warwick tidak malu mengejar “Profit” (kontrak riset industri dan komersialisasi) untuk mendanai “Prestige” (riset murni). Mereka adalah master dari sisi “Industri” dalam model Triple Helix.
Kontras ini sangat penting. NTU adalah model “didorong pemerintah” (government-driven) yang sukses. Warwick adalah model “didorong industri” (industry-driven) yang sukses. Keduanya menunjukkan bahwa transformasi adalah pilihan strategis yang disengaja, mahal, dan butuh pilihan yang jelas—sesuatu yang tampaknya dilupakan oleh Indonesia.
Mandat Mustahil: Tabrakan Kebijakan Indonesia
Dan di sinilah letak tragedi Indonesia. Kita tidak memilih jalur NTU (didanai penuh) atau jalur Warwick (fokus industri). Kita mencoba mengambil jalan pintas yang mustahil.
Pemerintah, melalui kebijakan seperti status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) dan Klasterisasi, secara agresif menuntut universitas kita untuk memiliki output riset kelas dunia. KPI-nya jelas: peringkat global, publikasi Q1, sitasi internasional.
Namun, tuntutan ini—inilah intinya—adalah sebuah “Mandat Mustahil” karena bertabrakan langsung dengan dua realitas kebijakan yang brutal:
- Kontradiksi Ambisi vs. Anggaran Kita menuntut KPI universitas riset (ranking global, publikasi Q1) tapi menyediakannya dengan anggaran universitas pengajaran. Belanja R&D Indonesia stagnan di angka 0,24% – 0,3% dari PDB. Angka ini adalah resep bencana. Kita menuntut output ala Singapura dengan pendanaan yang bahkan tidak bisa bersaing di level regional. Ini seperti menuntut koki restoran lokal untuk memenangkan Bintang Michelin, tapi hanya memberinya anggaran warteg.
- Kontradiksi Otonomi vs. Regulasi Kita memberi status otonomi (PTN-BH) agar universitas gesit dan wirausaha (seperti Warwick). Tapi di saat yang sama, kita membelenggu dosen dengan beban administrasi yang kaku (laporan Beban Kerja Dosen/BKD). Waktu berharga yang di negara lain dipakai untuk berpikir, bereksperimen, dan menulis, di sini habis untuk mengisi formulir kepatuhan. Ini seperti menyuruh sprinter lari sambil memanggul lemari arsip.
Ketika dua kontradiksi ini—ambisi besar tanpa uang dan tuntutan gesit tapi terbelenggu—dipaksakan, sistem akan mencari katup pelepas. Dan katup pelepas itu adalah mahasiswa.
Biaya Tersembunyi: Saat Metrik Mengalahkan Nalar
Sistem yang kontradiktif ini tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi juga melahirkan serangkaian paradoks menyakitkan—biaya tersembunyi yang jarang dibicarakan saat kita “mabuk” peringkat.
- Paradoks Kualitas Pengajaran Ada mitos bahwa dosen peneliti hebat adalah pengajar S1 terbaik. Kenyataannya seringkali sebaliknya. Dalam “Perlombaan Senjata Riset”, promosi, jabatan, dan gaji dosen bergantung hampir seluruhnya pada publikasi Q1 dan perolehan hibah. Insentif untuk mendedikasikan waktu pada pengajaran S1 menurun drastis. Akibatnya? Terjadi “pengosongan” pengajaran S1. Profesor senior yang paling produktif risetnya akan fokus membimbing mahasiswa S3 dan mengelola hibah, sementara kelas-kelas S1 yang besar seringkali diserahkan ke dosen yang lebih junior atau asisten.
- Efek Matius dan “Fakultas Bayangan” Dalam pendanaan riset, berlaku “Efek Matius”: yang kaya akan semakin kaya. Universitas top seperti Harvard, NTU, atau bahkan UI dan ITB, memiliki keunggulan yang hampir tidak mungkin dikejar. Mengapa? Karena mereka mampu membayar “fakultas bayangan” (shadow faculty)—staf administrasi berketerampilan tinggi di Kantor Manajemen Hibah (Grant Management Office). Tim inilah yang profesional dalam mencari peluang, menyusun proposal, dan mengelola administrasi. Universitas pendatang baru, yang dosennya harus mengurus proposalnya sendiri sambil mengajar, akan kalah telak.
- Produktivitas Semu (Hukum Goodhart) Obsesi pada KPI kuantitas (jumlah publikasi) adalah contoh sempurna Hukum Goodhart: “Ketika sebuah ukuran menjadi target, ia berhenti menjadi ukuran yang baik.” Tekanan “Publikasi atau Musnah” (Publish or Perish) mendorong dosen untuk “memainkan” sistem:
- “Salami Slicing”: Praktik tidak etis di mana satu proyek penelitian yang solid “diiris-iris” menjadi beberapa makalah tipis (“irisan”) hanya untuk memperbanyak jumlah KPI publikasi.
- “Jurnal Predator”: Ledakan jurnal bayar-untuk-terbit yang tidak memiliki proses peer review kredibel. Ini adalah “produktivitas semu”—angka publikasi naik, tapi kontribusi ilmunya nol.
Siapa yang Sebenarnya Membayar?
Dan inilah jawaban dari pertanyaan di awal. Polemik kenaikan UKT besar-besaran dan kasus “pinjol” di ITB bukanlah anomali. Keduanya adalah gejala yang dapat diprediksi.
Ketika Pemerintah memberi “Mandat Mustahil” (tuntutan riset tinggi, dana hibah rendah, regulasi kaku), rektorat didorong menjadi “wirausaha”. Karena dana riset dari negara minim dan waktu dosen habis oleh administrasi, universitas beralih ke satu-satunya sumber pendapatan besar yang bisa mereka kendalikan: Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Tekanan finansial yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, dialihkan ke universitas (via otonomi PTN-BH), dan akhirnya, dilimpahkan seluruhnya ke mahasiswa dan keluarga mereka.
Penutup: Menemukan Kembali Jiwa Universitas
Melihat semua kontradiksi ini bukanlah alasan untuk pesimis. Justru sebaliknya, ini adalah sebuah diagnosis yang jelas. Dan diagnosis yang jelas adalah langkah pertama menuju penyembuhan. Kabar baiknya adalah, kita tidak terjebak. Jalan keluarnya ada di depan mata, dan ia tidak memerlukan biaya yang lebih mahal, hanya pilihan yang lebih bijak.
Jalan ke depan membutuhkan tiga pergeseran fundamental:
- Keberanian untuk Berdiferensiasi. Kita harus berhenti berpura-pura bahwa semua universitas harus menjadi Harvard atau NTU. Kita harus mengizinkan diferensiasi misi. Biarkan beberapa PTN-BH unggul sebagai Teaching University elit, yang diukur dari kesuksesan lulusannya. Biarkan yang lain menjadi “model Warwick”, yang diukur dari relevansinya dengan industri dan kontribusi ekonominya (Profit), bukan hanya publikasi (Prestige).
- Realisme dalam Alokasi. Daripada menyebar anggaran R&D 0,3% itu secara tipis, kita harus mengonsentrasikan kekuatan. Pilih 5-7 universitas unggulan yang terbukti, danai mereka secara penuh untuk bersaing di level global. Untuk yang lain, fokuskan pendanaan pada kualitas pengajaran dan relevansi industri.
- Membebaskan Talenta. Ini mungkin yang paling penting. Kita harus mereformasi total beban administrasi seperti BKD. Beri dosen kita kemewahan untuk berpikir, bereksperimen, dan mengajar, bukan hanya menghabiskan waktu berharga untuk mengisi formulir kepatuh










