Runtuhnya Otoritas dan Pertarungan Baru Komunikasi Sains

Kita hidup di zaman paradoks. Belum pernah dalam sejarah manusia kita memiliki akses ke begitu banyak data, namun kita juga belum pernah merasa lebih bingung, curiga, dan terpecah belah tentang apa yang harus dipercaya.

Selama ratusan tahun, model peradaban kita sederhana: ada “pakar,” dan ada “awam.” Pakar—ilmuwan, akademisi, dokter—adalah penjaga gerbang pengetahuan. Tugas mereka adalah “mengisi” kepala kita yang dianggap “kosong” dengan fakta. Ini adalah “Model Defisit”: Anda tidak tahu, saya tahu, maka Anda diam dan dengarkan.

Selama abad ke-20, model ini tampak berhasil. Kita terbang ke bulan, memberantas penyakit, dan membangun internet di atas fondasi otoritas para pakar.

Tapi sekarang, model itu runtuh.

Di Indonesia, kita melihat gejalanya di mana-mana. Kita melihat “kegagalan daya kritis” di media yang lebih mementingkan sensasi daripada verifikasi. Kita melihat publik yang “kagetan,” siap menyebarkan hoaks sensasional tentang “calon Nobel” atau “Habibie berikutnya” tanpa jeda untuk berpikir.

Kebenaran yang menyakitkan adalah: Model Defisit telah mati. Otoritas tidak lagi diberikan, ia harus diperjuangkan. Dan ironisnya, para pakar seringkali menjadi penyebab utama keruntuhan mereka sendiri.

Monolog vs. Dialog: Filosofi di Balik Kegagalan

Selama ini, kita terjebak dalam filosofi “Model Defisit”. Ini adalah komunikasi satu arah yang lurus dan dingin. Ia beroperasi di atas asumsi arogan bahwa audiens adalah “wadah kosong” (empty vessels) dan “fakta” adalah air jernih yang bisa dituang begitu saja untuk “mengisi” mereka.

Masalahnya? Manusia bukan wadah. Mereka adalah ekosistem. Mereka punya kepercayaan yang sudah mengakar, nilai-nilai yang mereka pegang, konteks sosial yang kompleks, dan—yang paling penting—identitas yang mereka jaga.

Model Defisit gagal total karena ia adalah sebuah monolog. Ia tidak peduli dengan kondisi audiens; ia hanya peduli pada kebenaran si pembicara. Dalam abad ke-21, di mana semua orang memiliki megafon (media sosial), monolog adalah bentuk bunuh diri komunikatif. Ia terasa menggurui, arogan, dan tidak peka.

Inilah mengapa pergeseran paradigma sedang terjadi, memaksa kita beralih ke “Model Kterlibatan Publik”. Ini adalah filosofi yang sepenuhnya berbeda. Ini bukan transfer fakta; ini adalah dialog dua arah.

Model Keterlibatan tidak bertanya, “Bagaimana cara saya membuat mereka paham?” Model ini bertanya, “Apa yang penting bagi mereka? Di mana nilai-nilai kita bertemu? Apa konteks mereka?” Fokusnya bergeser secara radikal, dari “menuangkan fakta” menjadi “membangun hubungan” dan “menemukan relevansi bersama.”

Ini adalah satu-satunya cara untuk membangun kembali kepercayaan yang telah hancur. Semua kegagalan komunikasi yang kita saksikan saat ini, pada intinya, adalah gejala dari pakar yang masih keras kepala mempraktikkan Model Defisit. Dan semua kesuksesan—seperti yang akan kita lihat—adalah manifestasi cerdas dari Model Keterlibatan.

Musuh Sebenarnya: “Kutukan Pengetahuan”

Jika Model Keterlibatan adalah filosofi yang ideal, mengapa begitu banyak pakar gagal menerapkannya? Jawabannya terletak pada musuh internal yang tersembunyi: “Kutukan Pengetahuan” (The Curse of Knowledge).

Ini adalah hambatan kognitif terbesar dalam seluruh komunikasi. Bias ini sederhana namun brutal: ketika Anda telah menghabiskan puluhan tahun untuk memahami sesuatu yang kompleks, otak Anda secara harfiah tidak dapat lagi mengingat bagaimana rasanya tidak mengetahui hal itu.

Pengetahuan yang dulu sulit kini telah terinternalisasi menjadi “intuisi”. Ia terasa “jelas”.

Di sinilah tragedi terjadi. Ketika si pakar mencoba menjelaskan konsep “jelas” ini kepada pemula, mereka secara tidak sadar melewatkan langkah-langkah logika yang krusial. Mereka melompati lima “anak tangga” logika sekaligus karena bagi otak mereka, anak tangga itu sudah tidak terlihat.

Audiens, yang hanya bisa naik satu anak tangga dalam satu waktu, tentu saja tersesat. Dan apa yang terjadi? Ketika audiens gagal paham, si pakar (yang terjebak dalam Model Defisit) tidak melihatnya sebagai kegagalan komunikasi; mereka melihatnya sebagai “defisit” atau “kebodohan” pada audiens.

Ini bukan kesombongan, ini adalah tragedi kognitif. Inilah alasan mengapa ilmuwan paling brilian seringkali menjadi komunikator terburuk. Mereka telah melupakan jalan setapak yang dulu mereka lalui untuk mencapai puncak pengetahuan.

Inilah mengapa “Teknik Feynman” yang terkenal itu sangat revolusioner. Fisikawan Richard Feynman pada dasarnya merumuskan penangkal untuk kutukan ini. Keyakinannya: “Jika Anda tidak bisa menjelaskannya dengan bahasa sederhana, Anda belum benar-benar memahaminya.”

Tekniknya (menjelaskan konsep seolah-olah kepada anak kecil, tanpa jargon) bukanlah alat komunikasi, melainkan alat diagnostik. Ia memaksa si pakar untuk melawan bias internalnya, menuruni gunung, dan menemukan kembali setiap langkah logika yang hilang. Jika Anda gagal menyederhanakannya, itu bukan berarti audiensnya bodoh. Itu berarti pemahaman Anda sendiri yang belum tuntas.

Jargon Bukan Alat, Jargon Adalah Tembok

Dalam upaya putus asa untuk terdengar “akurat”, para pakar sering menggunakan senjata pemusnah massal terkuat mereka: jargon.

Bagi mereka, jargon adalah efisiensi. Bagi audiens, jargon adalah sinyal eksklusi. Penelitian psikologis menunjukkan fakta yang mengejutkan: Jargon tidak hanya membuat orang bingung. Jargon secara aktif menciptakan resistensi.

Ketika audiens mendengar jargon yang tidak mereka pahami, beban kognitif mereka meningkat. Otak mereka menolak pesan itu karena sulit. Penolakan kognitif ini dengan cepat berubah menjadi penolakan emosional.

Mereka tidak hanya bingung, mereka menjadi curiga. Mereka merasa si ahli sengaja menyembunyikan sesuatu, pamer, atau tidak kompeten dalam menjelaskan. Menggunakan jargon dalam komunikasi publik ibarat mencoba membuka pintu yang terkunci dengan mendorongnya sekuat tenaga. Anda tidak hanya gagal membukanya, Anda justru membuat gagang pintunya patah.

Relevansi: Pintu Masuk ke Otak Audiens

Jika jargon adalah tembok, maka relevansi adalah pintu masuknya. Ini mungkin teknik praktis terpenting dalam Model Keterlibatan.

Otak manusia bukanlah perekam pasif; ia adalah mesin penyaring yang luar biasa egois. Ia berevolusi bukan untuk mengagumi kebenaran abstrak alam semesta, tapi untuk bertahan hidup. Setiap detik, otak kita dibombardir jutaan bit informasi, dan ia harus memutuskan dalam hitungan milidetik: “Apakah ini penting untuk saya?”

Jika jawabannya “tidak,” informasi itu akan diabaikan. Dibuang ke tempat sampah kognitif. Titik.

Di sinilah Model Defisit melakukan kesalahan fatalnya. Seorang komunikator Model Defisit memulai dari dirinya sendiri. Dia naik ke panggung dan berkata, “Hari ini saya akan menjelaskan apa itu fisika kuantum.” Dalam tiga detik, 90% otak audiens telah mematikan diri.

Komunikator Model Keterlibatan yang cerdas akan membalik skripnya. Dia tidak memulai dari sains; dia memulai dari audiens. Dia bertanya, “Apa yang ada di saku audiens saya? Apa yang mereka pedulikan?”

Dia akan naik ke panggung dan bertanya, “Siapa di sini yang punya ponsel pintar?” Semua tangan terangkat. “Benda ini adalah keajaiban. Ia seharusnya tidak mungkin bisa berfungsi. Agar benda ini muat di saku Anda alih-alih seukuran rumah, partikel-partikel kecil di dalam prosesornya harus melakukan hal-hal yang sangat aneh dan magis.”

Sekarang, barulah dia menjelaskan fisika kuantum. Tapi dia tidak pernah menyebutnya “fisika kuantum”. Dia menyebutnya “alasan ponsel Anda berfungsi.”

Itulah Relevansi dan Kontekstualisasi. Ini adalah tindakan strategis untuk membingkai fakta abstrak ke dalam konteks yang sudah dipedulikan oleh audiens. Tanpa relevansi, komunikasi gagal bahkan sebelum dimulai.

Kisah Mengalahkan Data, Selalu

Manusia tidak berevolusi untuk mengingat daftar fakta atau memproses spreadsheet. Otak kita dirancang untuk satu hal di atas segalanya: cerita.

Kegagalan Model Defisit adalah kegagalan imajinasi. Ia mencoba menyuapi kita “data”. Tapi yang kita butuhkan adalah “narasi”.

Carl Sagan tidak menjadi komunikator sains paling berpengaruh di abad ke-20 dengan menjelaskan rumus astrofisika. Dia melakukannya dengan menatap kamera dan memberi tahu kita bahwa kita “terbuat dari materi bintang.” Dia menghubungkan fisika nuklir langsung ke identitas personal kita.

Hans Rosling tidak mengubah cara pandang kita tentang kesehatan global dengan menunjukkan tabel PDB. Dia mengubah data itu menjadi “balapan” gelembung animasi yang dramatis di layar. Dia memberi kita karakter (negara) dan plot (pembangunan).

Secara psikologis, cerita yang bagus melakukan sesuatu yang ajaib: ia memicu “transportasi naratif.” Otak kita terhanyut ke dalam dunia cerita, dan sebagai hasilnya, pertahanan skeptis kita runtuh. Kita berhenti berdebat dan mulai merasakan informasinya. Komunikator yang efektif memahami ini: jangan beri saya angka, beri saya drama.

Medan Perang Baru: 60 Detik di TikTok dan Ilusi Penguasaan

Seolah pertarungan belum cukup sulit, lanskapnya berubah total dalam lima tahun terakhir. Pertarungan kini bergeser dari ceramah 60 menit (Model Defisit) ke video 60 detik di TikTok.

Di Indonesia, TikTok baru saja meluncurkan “STEM Feed” khusus, menjangkau 135 juta pengguna. Ini adalah peluang penyebaran terbesar dalam sejarah, sekaligus bahaya terbesar.

Simplifikasi di era TikTok memunculkan paradoks baru yang berbahaya: “Efek Kemudahan” (Easiness Effect) atau Efek Dunning-KKruger. Ketika sebuah konsep kompleks dijelaskan dalam 60 detik dengan animasi lucu, audiens tidak hanya “memahaminya”—mereka mendapatkan “ilusi penguasaan”.

Mereka merasa topik itu “mudah.” Dan karena mereka merasa sudah menguasainya, mereka menjadi lebih percaya diri dan kurang menghargai keahlian yang sebenarnya. Simplifikasi yang berlebihan tidak menciptakan rasa ingin tahu; ia menciptakan arogansi. Audiens menjadi terlalu percaya diri dan menolak nasihat ahli di kemudian hari.

Ditambah lagi dengan Artificial Intelligence (AI). AI kini terbukti mampu menulis ringkasan sains yang lebih sederhana dan lebih dipercaya daripada ilmuwan manusia. AI bisa menjadi penerjemah universal, atau bisa juga menjadi mesin pembuat misinformasi paling persuasif yang pernah ada.

Masa Depan Komunikasi: Dari “Membantah” ke “Memvaksinasi”

Kiamat pakar telah terjadi. Otoritas telah runtuh. Lalu, apa peran baru bagi mereka yang berpengetahuan?

Strategi lama “membantah” hoaks (debunking) adalah permainan yang sudah kalah. Misinformasi menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Anda tidak bisa memadamkan api satu per satu saat seluruh hutan terbakar.

Strategi baru yang kini muncul adalah “pre-bunking”—atau “inokulasi psikologis.”

Alih-alih memberi tahu orang, “Ini salah,” pendekatan ini memberi tahu mereka, “Orang akan mencoba menipu Anda dengan taktik ini. Begini cara kerjanya.”

Ini adalah pergeseran fundamental. Kita berhenti memperlakukan audiens sebagai “wadah kosong” yang perlu “diisi” fakta. Kita mulai memperlakukan mereka sebagai mitra cerdas yang perlu “divaksinasi” terhadap manipulasi.

Fokusnya bergeser dari apa yang harus dipikirkan menjadi bagaimana cara berpikir.

Langkah Praktis di Era Baru Kepercayaan

Pergeseran ini bukan sekadar teori akademis; ini adalah sebuah keharusan strategis. Otoritas yang dulu didapat secara otomatis kini harus dibangun secara manual, percakapan demi percakapan.

Nilai yang bisa Anda berikan—sebagai pemimpin, kolega, atau komunikator—tidak lagi diukur dari seberapa banyak data yang Anda miliki, tetapi dari seberapa baik Anda bisa menerjemahkannya menjadi makna.

Apa tindakan jelas yang bisa kita lakukan?

  1. Prioritaskan Relevansi Di Atas Akurasi Teknis. Selalu mulai dengan pertanyaan “Mengapa ini penting bagi Anda?” sebelum menjelaskan “Apa ini.” (Seperti contoh “ponsel” vs “fisika kuantum”).
  2. Lawan “Kutukan Pengetahuan” Anda Sendiri. Sebelum menjelaskan kepada orang lain, jelaskan konsep itu ke selembar kertas tanpa jargon. Jika Anda gagal, masalahnya ada di pemahaman Anda, bukan di audiens.
  3. Geser dari Reaktif ke Proaktif. Berhenti menghabiskan energi untuk membantah hoaks (debunking). Mulailah berinvestasi dalam “pre-bunking”—mengedukasi audiens Anda tentang cara kerja disinformasi sehingga mereka bisa kebal.

Pada akhirnya, di lanskap baru ini, tujuannya bukan lagi untuk tampil sebagai orang yang paling “tahu” atau “pakar”. Tujuannya adalah menjadi individu yang paling jelas, paling berguna, dan paling bisa dipercaya. Itulah nilai strategis yang sebenarnya.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *