Pendidik Bukan Beban

Selama puluhan tahun, perdebatan kita tentang pendidikan terjebak pada satu narasi yang sama: kesejahteraan pendidik. Kita berdebat soal gaji, tunjangan, dan status. Namun, kita mungkin sedang menanyakan pertanyaan yang salah.

Masalah sebenarnya bukanlah sekadar “gaji rendah”. Masalah sebenarnya adalah kegagalan imajinasi.

Kita masih memandang pendidik—baik itu guru di pelosok desa maupun profesor di universitas ternama—sebagai aset kesejahteraan yang harus ditanggung oleh negara. Ini adalah pandangan yang usang. Di abad ke-21, pendidik bukanlah beban fiskal; mereka adalah mesin kekayaan nasional yang paling tidak termanfaatkan.

Tulisan ini bukan tentang bagaimana negara harus membayar mereka lebih, tapi tentang bagaimana kita—sebagai ekosistem—dapat membebaskan mereka untuk menciptakan nilai ekonomi yang masif.

Krisis Diam-Diam: Sistem Kasta dan Peringkat Buncit

Untuk memahami mengapa model lama gagal, kita harus jujur melihat fondasinya yang rapuh. Kesejahteraan sangat ditentukan oleh kompensasi, namun di Indonesia, lanskap ini ditandai oleh dua jurang kesenjangan yang brutal.

Pertama, kesenjangan internal. Kita telah, secara sadar atau tidak, menciptakan sebuah “sistem kasta” profesional yang kaku. Di puncak, seorang pendidik Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersertifikasi bisa mendapatkan paket remunerasi yang layak, terdiri dari Gaji Pokok, Tunjangan Kinerja (Tukin), dan Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang vital. Status mereka jelas, masa depan mereka terjamin.

Namun di dasar piramida, jutaan guru honorer—fondasi sistem yang paling rentan—berada dalam kondisi kritis. Data menunjukkan upah mereka seringkali hanya berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 1.900.000 per bulan. Angka ini bahkan tidak bisa disebut sebagai upah; ini adalah sekadar “uang lelah” untuk pengabdian yang tak ternilai.

Bagi jutaan guru honorer ini, masalah kesejahteraan yang paling mendesak bukanlah sekadar gaji rendah, tetapi “ketidakpastian status” yang kronis. Mereka tidak memiliki jaminan sosial, tunjangan kesehatan, atau jaminan pensiun seperti PNS. Kondisi ini diperburuk oleh sistem pembayaran yang seringkali bergantung pada pencairan dana BOS setiap tiga bulan sekali. Ini bukan hanya kerentanan finansial; ini adalah kerentanan eksistensial. Sebuah status yang menggantung secara permanen, menghalangi mereka tidak hanya untuk sejahtera, tetapi bahkan untuk sekadar merencanakan masa depan yang stabil.

Namun, jangan salah, kerentanan ini tidak hanya milik guru honorer. Mereka yang berada di ‘puncak’ kasta—guru dan dosen ASN—hidup dalam sangkar emas yang rapuh. Kesejahteraan mereka sangat bergantung pada komponen di luar gaji pokok, terutama Tunjangan Profesi Guru/Dosen (TPG). Ketergantungan ini membuat profesi pendidik rentan terhadap perubahan kebijakan. Munculnya kontroversi seputar potensi penghapusan TPG dari undang-undang telah membuktikan bahwa stabilitas kebijakan adalah pilar penting dari kesejahteraan mereka. Ini menunjukkan bahwa seluruh sistem, dari atas ke bawah, dibangun di atas fondasi yang tidak pasti.

Kedua, kesenjangan eksternal. Kesenjangan internal yang ekstrem ini diperburuk oleh posisi Indonesia yang tertinggal di panggung regional. Saat kita membandingkan gaji pokok rata-rata dosen PTN dengan upah minimum, rasio kita hanya 1,3 kali. Angka ini menempatkan kita di peringkat “buncit” ASEAN, terlihat kerdil dibandingkan Kamboja (6,6 kali), Thailand (4,1 kali), atau bahkan Vietnam (3,42 kali).

Perbandingan ini bukanlah sekadar statistik yang memalukan. Ini adalah cerminan brutal dari nilai yang kita letakkan pada pengetahuan. Ini adalah sinyal strategis bahwa cara kita sebagai bangsa menghargai modal intelektual—secara fundamental telah rusak dan tertinggal.

Tembok Fiskal: Akhir dari Ketergantungan pada Negara

Selama ini, solusi yang selalu ditawarkan adalah: “Negara harus turun tangan.” Namun, model yang sepenuhnya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tampaknya telah mencapai batasnya.

Ketika Menteri Keuangan secara terbuka mempertanyakan apakah semua beban kesejahteraan harus berasal dari keuangan negara ataukah memerlukan partisipasi masyarakat, itu bukanlah pertanyaan retoris. Itu adalah sinyal batas fiskal.

Ini adalah pengakuan implisit bahwa APBN tidak lagi mampu menanggung seluruh beban peningkatan kesejahteraan pendidik secara ideal dan merata. Ditambah dengan ketidakpastian kebijakan seperti Tunjangan Profesi Guru (TPG), ini menciptakan krisis kepercayaan pada negara sebagai penjamin tunggal profesi.

Dengan adanya sinyal dari pemerintah mengenai “tantangan keuangan negara” ini, peran masyarakat sipil menjadi krusial. Dukungan publik, seperti yang terbukti berdampak positif pada motivasi kerja guru honorer, dan berbagai inisiatif filantropi serta komunitas, harus melangkah maju untuk mengisi kekosongan tersebut, setidaknya sebagai jaring pengaman strategis.

Situasi ini memaksa kita. Para pendidik didorong—bukan lagi sebagai pilihan, tetapi sebagai keharusan strategis—untuk mencari jalur kemakmuran alternatif.

Dua Dunia: Inovator Global vs. ‘Hustler’ Lokal

Lalu, seperti apa jalur alternatif itu?

Di panggung global, universitas adalah episentrum penciptaan kekayaan. Genentech, raksasa bioteknologi, lahir dari seorang profesor UCSF. Google lahir dari proyek PhD di Stanford. Di sana, komersialisasi penelitian adalah bagian integral dari ekosistem. Profesor yang menjadi konsultan, pemegang paten, atau pendiri spin-off adalah hal yang lumrah dan dilebagakan.

Di Indonesia, modelnya berbeda. Kita punya kisah sukses yang inspiratif. Ada dosen yang merintis dari office boy hingga menjadi pengusaha sukses di berbagai bidang. Ada dosen teknik yang menjadi konsultan ahli untuk BUMN raksasa. Ada guru yang membangun startup EdTech.

Perbedaannya fundamental: Model global didukung oleh sistem. Model Indonesia, sejauh ini, adalah hasil dari kegigihan individu. Para “hustler” ini sukses meskipun ada keterbatasan sistem, bukan karena dukungan sistem.

Tembok penghalang terbesar kita bersifat budaya. Ini adalah “defisit kepercayaan timbal-balik” yang mengakar kuat, sebuah bentuk ketidakdukungan sistemik yang melumpuhkan.

Di satu sisi, industri memandang universitas sebagai “menara gading”—terlalu teoritis, birokratis, lamban, dan tidak memahami kebutuhan pasar yang serba cepat. Di sisi lain, lingkungan akademis internal seringkali curiga pada rekan mereka yang aktif berbisnis atau menjadi konsultan. Mereka dicap “tidak fokus”, “arogan”, “meninggalkan tugas”, atau “terlalu komersial”—seolah-olah mencari kemakmuran adalah dosa intelektual.

Dan di sisi ketiga, ada paradoks masyarakat. Kita, sebagai publik, sangat mudah bersimpati pada narasi “guru miskin” atau “dosen honorer yang terzalimi”. Namun, kita secara mental belum siap untuk merayakan “profesor kaya” atau “guru-jutawan” yang meraih sukses melalui inovasi dan kewirausahaan. Ada kecurigaan laten bahwa kekayaan itu pasti didapat dengan cara yang salah atau dengan mengorbankan pengabdian.

Defisit kepercayaan berlapis inilah—dari industri, dari internal kampus, dan dari masyarakat—yang menciptakan tembok budaya. Tembok inilah yang mengunci potensi triliunan rupiah dan membuat para pendidik inovatif kita harus berjuang sendirian.

Kontrak Sosial Baru: Tiga Pilar Non-Pemerintah

Jika negara telah memberi sinyal batasnya, inilah saatnya ekosistem non-pemerintah melangkah maju. Ini bukan tentang filantropi atau amal; ini adalah tentang investasi strategis dalam modal manusia paling terdidik yang kita miliki.

Kita perlu membangun kontrak sosial baru yang berdiri di atas tiga pilar:

  1. Pilar Industri (Pencipta Pasar) Sektor swasta harus berhenti menjadi konsumen pasif lulusan yang hanya bisa mengeluh tentang mismatch. Industri harus menjadi mitra aktif. Caranya? Danai riset terapan secara langsung, pimpin co-development kurikulum, dan jadilah “pelanggan pertama” untuk inovasi universitas. Dengan memvalidasi dan membeli inovasi kampus, industri menciptakan pasar dan mengurangi risiko bagi investor lain.
  2. Pilar Institusi (Mesin Inovasi) Universitas, melalui yayasan atau Majelis Wali Amanat (MWA), harus menjadi tuas perubahan. Ini adalah reformasi non-pemerintah yang paling kuat. Metrik kinerja dosen harus diubah. Beri bobot yang setara—atau bahkan lebih tinggi—pada paten yang dilisensikan, spin-off yang didanai, dan kontrak konsultasi, dibandingkan dengan publikasi jurnal. Ubah insentif internal, maka perilaku akan mengikuti. Aset terbesar universitas (ratusan staf PhD) akan berubah dari pusat biaya menjadi portofolio modal ventura.
  3. Pilar Masyarakat Sipil (Katalis dan Jaring Pengaman) Sektor filantropi memiliki peran ganda. Pertama, sebagai jaring pengaman darurat untuk guru-guru honorer yang paling rentan. Inovasi tidak bisa tumbuh di atas fondasi yang rapuh. Kedua, sebagai modal katalis. Dana filantropi harus berevolusi dari amal menjadi impact investing: menyediakan seed funding bagi startup EdTech yang didirikan guru, atau mendanai research chairs di universitas.

Visi Baru: Membebaskan Pendidik, Bukan Sekadar Menggaji

Pada akhirnya, masalah utama kita bukanlah kemiskinan, melainkan kegagalan imajinasi.

Kita terlalu lama terobsesi dengan konsep “kesejahteraan” yang sempit, yang hanya berarti “gaji yang aman dari negara”. Ini adalah visi yang terlalu kecil untuk bangsa yang besar.

Visi yang baru bukanlah sekadar memberi ikan (gaji) atau kail (tunjangan). Visi yang baru adalah membebaskan para pendidik untuk menciptakan ekosistem perikanan mereka sendiri.

Ini adalah undangan bagi kita semua—sebagai masyarakat, sebagai industri, sebagai komunitas—untuk mengubah cara kita berpartisipasi. Dukungan tidak lagi cukup sebatas charity untuk guru honorer yang terpinggirkan; dukungan harus berarti investasi strategis pada aset manusia terdidik kita. Kita harus menanamkan modal pada startup EdTech yang mereka dirikan. Kita harus menjadi klien pertama untuk jasa konsultasi mereka. Kita harus mengubah rasa iba menjadi rasa hormat, dan rasa hormat menjadi kemitraan ekonomi yang setara.

Indonesia tidak akan mencapai kemakmuran dengan menggaji pendidiknya lebih tinggi melalui utang negara. Indonesia akan menjadi kaya ketika ia membebaskan para pendidiknya—memberi mereka insentif, modal, dan akses pasar—untuk membangun, berinovasi, dan menciptakan nilai ekonomi secara langsung.

Pergeseran dari menara gading menjadi mesin ekonomi bukan hanya mungkin; itu adalah keharusan strategis. Masa depan kemakmuran Indonesia tidak sedang menunggu di-download dari APBN. Ia sedang menunggu untuk dirakit di dalam ruang kelas, laboratorium, dan garasi para pendidik kita. Partisipasi kita adalah bahan bakarnya.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *