Mengapa Kita Gagal Merekrut dan Harus Mulai ‘Membangun’ Sendiri

Saya sering sekali mendengar keluhan ini di banyak lingkaran profesional: “Susah sekali mencari talenta digital!”

Perusahaan-perusahaan besar ingin merekrut ratusan data scientist atau AI specialist, tapi kandidatnya tidak ada. Manajer mengeluh standar lulusan baru tidak memenuhi ekspektasi. Di sisi lain, kita melihat berita tentang angka pencari kerja yang tinggi. Bagaimana bisa dua hal ini terjadi bersamaan?

Ini bukan sekadar “susah cari kerja” atau “susah cari karyawan”. Ini adalah inti dari Paradoks Talenta yang sedang melanda Indonesia.

Sebuah laporan strategis baru-baru ini (menganalisis data dari World Economic Forum) menyoroti fakta yang mengejutkan: masalah kita di Indonesia jauh lebih unik dan mendesak daripada yang kita bayangkan. Dan celakanya, kita mungkin selama ini fokus pada masalah yang salah.

Kita Terjebak dalam ‘Perang’ Merekrut yang Tidak Bisa Dimenangkan

Selama puluhan tahun, model standar perusahaan adalah “beli” atau buy. Jika kita butuh keahlian baru, kita rekrut orang baru dari pasar. Sederhana.

Masalahnya, strategi “beli” ini sudah tidak lagi berfungsi di Indonesia. Laporan tersebut mengungkap sebuah diagnosis inti: kita sedang mengalami krisis perekrutan eksternal.

Data WEF menunjukkan kita menghadapi ‘hambatan ganda’ (dual barrier) yang membuat strategi ‘beli’ ini runtuh.

Hambatan Pertama adalah level Industri (Struktural). Ini adalah temuan kuncinya. 45% perusahaan di Indonesia melaporkan “ketidakmampuan menarik talenta ke industri”.

Angka ini mungkin tidak terlihat dramatis, sampai kita membandingkannya dengan rata-rata global yang “hanya” 37%. Perbedaan 8 poin persentase ini sangat besar. Ini berarti, secara signifikan, pasar tenaga kerja kita jauh lebih ‘kering’ daripada pasar global.

Ini bukan masalah satu-dua perusahaan yang kalah bersaing gaji. Ini masalah struktural. Ini adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang fundamental rusak dalam pipa talenta kita. Entah seluruh industri kita—katakanlah teknologi, manufaktur, atau energi—dianggap tidak menarik, atau lebih mungkin, pasokan talenta dengan keahlian yang relevan (misalnya, AI, cybersecurity, data science) memang tidak ada dalam jumlah yang memadai.

Hambatan Kedua adalah level Perusahaan (Persaingan). Di atas masalah industri yang sudah kering tadi, 33% perusahaan kita juga melaporkan “ketidakmampuan menarik talenta ke perusahaan saya”. Ini juga 6 poin lebih tinggi dari rata-rata global (27%). Ini adalah masalah persaingan internal, mungkin soal branding perusahaan atau tawaran gaji yang kalah bersaing.

Jika kita gabungkan: Pasokan talenta secara industri sudah kering (masalah 45%), dan kalaupun ada, persaingan untuk mendapatkannya di level perusahaan juga brutal (masalah 33%).

Ini artinya, perang talenta eksternal adalah perang yang sangat mahal dan tidak akan bisa dimenangkan. Kita terjebak dalam zero-sum game, saling membajak talenta yang itu-itu saja. Mencoba “membeli” talenta AI atau data yang langka di pasar ibarat mencoba membeli air bersih di tengah gurun pasir. Harganya selangit, dan sumbernya kering.

Konsekuensinya: Kita Terpaksa Kembali ke Akal Sehat

Kegagalan “membeli” talenta dari luar ini bukanlah sekadar keluhan. Ini adalah sebuah krisis yang memaksa kita—secara strategis—untuk kembali ke akal sehat. Kita dipaksa kembali ke strategi yang sudah digunakan Homo Sapiens selama puluhan ribu tahun: “bangun” atau build.

Selama 99% sejarah manusia, keahlian tidak “dibeli”, tapi “dibangun”—melalui magang, dari guru ke murid, dari orang tua ke anak. Konsep “pasar kerja” di mana kita bisa “membeli” keahlian instan adalah penemuan yang sangat baru, yang dipopulerkan oleh Revolusi Industri.

Kini, era AI memaksa kita kembali ke akar.

Dan ini bukan hanya perasaan. Ini adalah konsekuensi strategis yang terukur. Laporan yang sama menunjukkan bahwa sebagai respons langsung terhadap pasar eksternal yang kering, perusahaan Indonesia secara kuantitatif jauh lebih fokus pada pengembangan talenta internal.

Inilah datanya: Total komitmen untuk pengembangan talenta internal—termasuk upskilling (peningkatan keterampilan) dan redeployment (transisi internal)—di Indonesia mencapai 54% dari tenaga kerja.

Angka ini secara signifikan melampaui rata-rata global yang “hanya” 48%.

Perbedaan 6 poin ini adalah bukti pergeseran strategis yang masif. Ini menunjukkan bahwa para pemimpin di Indonesia, yang didorong oleh kondisi pasar, telah mengambil keputusan. Fokusnya bergeser. Dari yang tadinya sibuk dengan fungsi HR eksternal (perekrutan), kini berporos ke fungsi L&D internal (pengembangan).

Mengembangkan talenta sendiri bukan lagi program “nice-to-have” (tambahan yang bagus) untuk employer branding. Data ini mengonfirmasi bahwa ini adalah keharusan strategis (strategic imperative). Bagi perusahaan di Indonesia, ini bukan lagi pilihan. Ini adalah pilar utama dari strategi kelangsungan hidup mereka.

Kita akhirnya menyadari bahwa kita tidak bisa menunggu lulusan universitas yang “siap pakai”. Kita harus menciptakan pabrik talenta kita sendiri.

Inilah pergeserannya:

  • Upskilling: Melatih karyawan yang ada agar lebih ahli dalam peran mereka saat ini (misalnya, akuntan yang belajar analitik data).
  • Redeployment: Melatih ulang karyawan untuk transisi ke peran baru yang sedang tumbuh (misalnya, staf administrasi yang beralih menjadi spesialis digital marketing).

Hambatan Sebenarnya: Kita Sibuk Menyalahkan Mitos

Tapi di sinilah letak masalah kedua. Kita tahu kita harus beralih ke strategi ‘bangun’ (fokus 54% tadi), tapi eksekusinya terasa lambat dan sulit. Tentu saja, sebagai manusia, kita senang mencari ‘musuh’ yang sederhana.

Dalam konteks bisnis, “musuh” favorit kita adalah: regulasi pemerintah.

Kita sering berasumsi bahwa transformasi bisnis kita lambat karena “kerangka regulasi yang usang atau kaku”.

Tapi inilah kejutannya: data berkata lain.

Bagi para pemimpin bisnis di seluruh dunia, regulasi memang masalah besar (hambatan #3). Namun di Indonesia, data WEF yang dianalisis laporan ini menunjukkan bahwa regulasi bahkan tidak masuk dalam 5 besar hambatan utama yang dilaporkan oleh para pemimpin bisnis.

Sebaliknya, para pemimpin di lapangan justru menunjuk masalah lain yang jauh lebih mendesak, yang sering terabaikan: “kurangnya infrastruktur data dan teknis yang memadai”.

Hambatan ini berada di peringkat #4 di Indonesia, dilaporkan oleh 41% perusahaan. Angka ini jauh di atas rata-rata global (32%).

Ini adalah diagnosis yang brutal dan paling bisa ditindaklanjuti. Ini berarti kita selama ini mungkin sibuk melobi perubahan aturan (advokasi eksternal), padahal masalah sebenarnya ada di dalam rumah kita sendiri (investasi internal). Kita membuang sumber daya untuk memecahkan masalah yang salah.

Ini adalah inti masalahnya. Bagaimana kita bisa mengeksekusi strategi “bangun” 54% yang ambisius itu jika kita tidak punya fondasi teknologinya?

Bagaimana kita bisa melakukan redeployment internal dalam skala besar jika kita tidak punya infrastruktur data HR untuk memetakan keahlian yang ada? Bagaimana kita bisa melakukan upskilling ribuan karyawan jika kita tidak punya platform pembelajaran (LXP/LMS) yang modern?

Strategi 54% itu akan gagal total jika fondasi 41% ini tidak diperbaiki. Itu hanya akan menjadi rencana indah di atas kertas. Laporan ini secara efektif memberitahu para pemimpin: Berhenti membuang waktu untuk lobi eksternal, mulailah investasi internal pada infrastruktur data dan teknologi HR Anda.

Cetak Biru Solusi: Membangun “Mesin Talenta”

Jadi, bagaimana kita mengeksekusi strategi “bangun” 54% itu setelah kita tahu masalah sebenarnya adalah infrastruktur? Diagnosis tadi tidak ada gunanya tanpa rencana eksekusi.

Laporan ini mengusulkan sebuah cetak biru operasional: membangun “Talent Engine” (Mesin Talenta) internal yang sistematis.

Ini bukan sekadar mengadakan seminar pelatihan dua hari. Ini adalah sebuah sistem, sebuah “pabrik” di dalam perusahaan yang terus-menerus mendiagnosis, memetakan, dan membangun keahlian. Ini adalah cara mengubah niat 54% itu menjadi kenyataan di lapangan.

Prosesnya memiliki langkah-langkah konkret:

Langkah 1: Diagnosis dengan “Workforce X-Ray” Alih-alih panik karena “kesenjangan keterampilan” (masalah 65% kita), kita mulai dengan mendiagnosisnya. Metodologi “Workforce X-Ray” menggunakan data (yang infrastrukturnya sudah kita perbaiki) untuk memetakan DNA keahlian yang sudah ada di dalam perusahaan. Sering kali, kita terkejut menemukan bahwa talenta yang kita cari sebenarnya sudah ada, hanya saja tersembunyi di departemen yang salah, atau memiliki 80% keahlian yang dibutuhkan.

Langkah 2: Petakan “Peran yang Berdekatan” (Skill-Adjacent Roles) Di sinilah letak keajaiban redeployment. Daripada memecat karyawan di peran yang meredup dan gagal merekrut talenta untuk peran baru, kita membangun jembatan di antara keduanya.

Laporan tersebut memberi contoh klasik: Ambil seorang Manajer Perubahan (Change Manager). Di permukaan, peran ini mungkin terlihat tidak relevan di era digital. Tapi setelah di-“Rontgen”, kita sadar dia sudah punya 80% keahlian yang dibutuhkan untuk peran baru Manajer Transformasi Digital (seperti kepemimpinan, analitis, manajemen proyek, dan interpersonal).

Tugas “Mesin Talenta” adalah secara sistematis menutup kesenjangan 20% sisanya—dalam hal ini, melatih mereka soal informatics dan ketajaman teknis. Ini jauh lebih murah, lebih cepat, dan lebih manusiawi daripada memecatnya dan mencoba merekrut orang baru yang langka itu dari pasar.

Langkah 3: Bangun “Full-Stack Skills” Mesin Talenta ini tidak melatih orang untuk pekerjaan masa lalu. Ia membangun keahlian masa depan, yang disebut “Full-Stack Skills”—kombinasi keahlian yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dengan AI.

  • Keterampilan Teknis: Literasi data dan kemampuan menggunakan alat AI.
  • Keterampilan Manusia: Kreativitas, ketahanan (resilience), kolaborasi, dan pemikiran kritis.

AI akan mengambil alih tugas-tugas administratif dan teknis murni. Nilai premium kita sebagai manusia akan bergeser ke kemampuan yang tidak bisa ditiru mesin: memimpin, berkolaborasi, dan beradaptasi.

Inilah solusi nyata dari paradoks ini. Kita berhenti gagal dalam upaya “membeli” talenta dari pasar yang kering, dan kita mulai secara sistematis “membangun” tenaga kerja yang kita butuhkan dari dalam.

Di Mana Peran Kita?

Saya melihat Paradoks Talenta ini bukan sebagai krisis, melainkan sebagai panggilan untuk bertindak.

Bagi para pemimpin perusahaan, ini adalah sinyal untuk berhenti mengeluh tentang regulasi atau lulusan baru. Ini saatnya mengalihkan fokus dan investasi ke dalam: membangun infrastruktur data yang kuat dan “Mesin Talenta” internal.

Bagi kita sebagai individu, ini adalah pesan yang jelas. Jangan menunggu “di-PHK” atau “digantikan AI”. Kita harus mengambil tanggung jawab untuk terus “membangun” diri kita sendiri. Kita harus menjadi individu full-stack yang lincah.

Selama 50 tahun ke depan, yang akan bertahan bukanlah perusahaan atau individu yang “tahu segalanya”, melainkan mereka yang punya kemampuan belajar tercepat.

Paradoks Talenta ini pada akhirnya mengajarkan kita sebuah pelajaran kuno: kita tidak bisa lagi menjadi konsumen pasif talenta. Kita harus kembali menjadi produsen aktif keahlian. Teknologi mengubah alatnya, tapi manusia tetap menjadi tuannya.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *