Kita hidup di zaman yang menuntut jawaban. Dihadapkan pada pandemi global, krisis iklim, dan kerumitan ekonomi, seruan “Percaya pada Sains” menggema di mana-mana. Kita mendambakan kepastian, dan kita berpaling kepada para ahli—para ilmuwan, ekonom, dan insinyur—untuk menyediakannya. Kita menginginkan solusi yang optimal, efisien, dan berbasis data.
Namun, di balik pencarian kita akan objektivitas, ada dua ideologi kembar yang sering kita salah pahami: Teknokrasi dan Saintisme. Teknokrasi adalah ideologi politik yang mengatakan bahwa para ahli teknislah yang paling memenuhi syarat untuk memerintah. Saintisme adalah keyakinan filosofis bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya jalan menuju pengetahuan yang valid.
Argumen utamanya adalah ini: Teknokrasi sebenarnya adalah aplikasi politik dari pandangan dunia saintistik. Ini adalah upaya untuk mengubah masyarakat manusia yang rumit, emosional, dan seringkali irasional, menjadi sebuah sistem yang dapat dioptimalkan—sebuah mesin yang harus diatur.
Perjalanan ini, yang dimulai seabad lalu dan kini mencapai puncaknya dalam “tata kelola algoritmik”, mungkin terlihat seperti kemajuan. Namun, ia membawa tantangan besar terhadap demokrasi, etika, dan bahkan esensi dari pengetahuan manusia itu sendiri.
Bagian I: Kebangkitan Teknokrasi
Untuk memahami masa kini, kita harus kembali ke awal abad ke-20. Istilah “teknokrasi” pertama kali muncul pada tahun 1919, diciptakan oleh seorang insinyur California, William Henry Smyth. Awalnya, ini bukan ide elitis; ia membayangkannya sebagai pemerintahan rakyat yang disempurnakan oleh keahlian para ilmuwan dan insinyur. Tokoh seperti Thorstein Veblen berpendapat bahwa para pebisnis yang mengejar keuntungan tidak kompeten mengelola industri; kendali harus diberikan kepada para insinyur yang rasional.
Namun, ide ini meledak selama Depresi Besar tahun 1930-an. Ketika kapitalisme pasar runtuh dan demokrasi tampak lumpuh, sebuah gerakan bernama Technocracy Inc. yang dipimpin oleh tokoh karismatik, Howard Scott, menawarkan alternatif radikal.
Argumen mereka sederhana sekaligus mengejutkan: “sistem harga” (uang) sudah usang. Ia tidak mampu mengelola kelimpahan yang diciptakan oleh mesin-mesin modern. Solusinya? Hapus uang. Gantikan dengan “sertifikat energi,” yang diukur dalam satuan fisik seperti joule.
Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi. Ini adalah cetak biru filosofis. Ini adalah keyakinan bahwa masyarakat bukanlah komunitas yang nilai-nilainya harus dinegosiasikan, melainkan sebuah mesin termodinamika yang harus dioptimalkan. Mereka memandang ekonomi bukan sebagai domain ilmu sosial, tetapi sebagai domain rekayasa. Gerakan ini bahkan memiliki estetika “cita rasa Fasis” : anggota mengenakan seragam abu-abu, mengendarai mobil abu-abu, dan memiliki salam khusus.
Gerakan radikal Howard Scott akhirnya gagal. Visi “Teknat Energi” mereka dicemooh. Namun, kegagalan gerakan ini justru memastikan keberhasilan gagasannya. Elemen-elemen aneh (seragam dan mata uang energi) dibuang, tetapi prinsip intinya—bahwa fungsi masyarakat yang kompleks harus dikelola oleh para ahli masih diserap ke dalam negara birokrasi pasca-perang. Gagasan itu tidak mati, ia hanya dinormalisasi.
Bagian II: Ketika Sains Menjadi Agama
Jika teknokrasi adalah mesin politik, saintisme adalah bahan bakarnya.
Penting untuk membedakan: Sains adalah sebuah metode penyelidikan yang rendah hati. Ia dinamis, skeptis, dan terus mengoreksi diri. Sebaliknya, Saintisme adalah sebuah ideologi filosofis yang arogan. Ia mengklaim bahwa hanya pengetahuan ilmiah (observasi empiris, eksperimen) yang otentik.
Saintisme menolak bentuk pengetahuan lain: filsafat, etika, humaniora, atau kearifan spiritual. Ia cenderung pada reduksionisme: upaya untuk menjelaskan fenomena kompleks semata-mata dalam kerangka komponen fisiknya. Cinta? “Itu hanyalah reaksi kimia di otak”. Kehendak bebas? “Itu hanya ilusi yang diciptakan oleh aktivitas saraf”.
Masalahnya, klaim inti saintisme itu sendiri tidak ilmiah. Seperti yang ditunjukkan oleh para filsuf, klaim “kita hanya boleh percaya pada apa yang dapat dibuktikan secara ilmiah” adalah sebuah proposisi filosofis, bukan kesimpulan laboratorium. Ia tidak dapat diuji atau diverifikasi. Dengan standarnya sendiri, saintisme gagal.
Kritikus besar seperti F.A. Hayek telah memperingatkan hal ini puluhan tahun lalu. Hayek berargumen bahwa menerapkan metode ilmu alam (yang mengukur objek) ke ilmu sosial (yang mempelajari subjek) adalah sebuah kesalahan kategori. “Fakta” dari ilmu sosial adalah keyakinan, opini, dan pengetahuan subjektif individu. Mengabaikannya demi mengejar hukum objektif ala fisika berarti salah memahami masyarakat manusia itu sendiri. Kritik Hayek terhadap saintisme, pada intinya, adalah pembongkaran filosofis terhadap proyek teknokratis.
Bagian III: Teknokrasi Hari Ini
Jadi, di mana kita melihat warisan ini hari ini? Di mana-mana.
- Studi Kasus 1: Uni Eropa (Teknokrasi “Lunak”) Uni Eropa (UE) sering disebut sebagai contoh utama teknokrasi modern. Kekuasaan besar terkonsentrasi pada badan-badan seperti Komisi Eropa dan, yang paling menonjol, Bank Sentral Eropa (ECB). Lembaga-lembaga ini diisi oleh para ahli yang tidak dipilih (“Eurokrat”) dan beroperasi secara independen dari akuntabilitas demokrasi langsung. Isu-isu ekonomi yang krusial “didepolitisasi”—dipindahkan dari ranah perdebatan publik ke ranah manajemen ahli. Ini menciptakan apa yang disebut sebagai “defisit demokrasi”.
- Studi Kasus 2: Tiongkok (Teknokrasi Otoriter) Model Tiongkok, terutama di era Jiang Zemin dan Hu Jintao, jauh lebih eksplisit. Kepemimpinan puncak, Komite Tetap Politbiro, didominasi oleh para insinyur. Ini adalah pemerintahan literal oleh para teknisi. Menariknya, di era Xi Jinping, ini telah berevolusi. “Teknokrat 2.0” telah muncul, dengan keahlian bukan lagi hanya di bidang teknik sipil, tetapi di bidang strategis baru seperti dirgantara, AI, dan ilmu lingkungan. Ini menunjukkan betapa adaptifnya teknokrasi: ia selalu mengangkat keahlian yang paling relevan dengan konsepsi negara tentang kemajuan.
- Studi Kasus 3: Pandemi (Saintisme Publik) Selama COVID-19, slogan “Percaya pada Sains” menjadi seruan yang kuat. Namun, slogan ini dikritik sebagai bentuk saintisme. Mengapa? Karena ia menyiratkan adanya satu entitas monolitik bernama “Sains” yang memberikan jawaban final dan tidak dapat dipertanyakan. Padahal, sains adalah proses perdebatan dan koreksi yang berantakan.
Lebih berbahaya lagi, pembingkaian saintistik ini mengesampingkan pertimbangan krusial lainnya. Keputusan lockdown, misalnya, bukanlah masalah ilmiah murni. Ia adalah masalah etis dan politis yang melibatkan pertukaran (trade-off) yang rumit antara kesehatan masyarakat, dampak ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kebebasan individu.
Bagian IV: Cacat Logika dalam Sistem
Ada dua kelemahan mendasar dalam pandangan dunia teknokratis-saintistik.
- Masalah Nilai (Guillotine Hume) Filsuf David Hume mengartikulasikan “masalah is-ought”. Sederhananya: Anda tidak dapat secara logis menurunkan pernyataan “seharusnya” (preskriptif/moral) dari pernyataan “apa adanya” (deskriptif/faktual).Sains sangat hebat dalam menjelaskan apa adanya (is). Ia bisa menjelaskan cara kerja bom atom. Tapi ia tidak pernah bisa memberi tahu kita apakah kita seharusnya menggunakannya. Itu adalah pertanyaan nilai.Teknokrasi mengklaim mencari kebijakan “terbaik” atau “paling efisien”. Tapi kata “terbaik” dan “efisien” selalu menyembunyikan penilaian nilai (sebuah “seharusnya”). Efisien untuk siapa? Terbaik menurut standar apa? Keahlian teknis bisa memberi tahu kita cara membangun bendungan, tetapi tidak bisa memberi tahu kita apakah manfaat bendungan itu lebih besar daripada biaya penggusuran komunitas atau kerusakan ekosistem. Ini adalah pertanyaan politis, bukan teknis.
- Visi Terowongan Ahli Kelemahan kedua adalah “visi terowongan”. Para ahli, secara definisi, memiliki pengetahuan yang mendalam namun sempit. Seorang ekonom mungkin mengusulkan kebijakan yang efisien secara fiskal tetapi menghancurkan lingkungan. Seorang insinyur mungkin merancang sistem yang brilian secara teknis tetapi tidak adil secara sosial. Pemerintahan yang efektif membutuhkan perspektif holistik yang mengintegrasikan berbagai nilai, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh komite ahli yang terkotak-kotak.
Bagian V: Masa Depan
Jika mimpi teknokratis tahun 1930-an adalah masyarakat yang diatur oleh insinyur, mimpi itu kini mencapai bentuk puncaknya: Tata Kelola Algoritmik (Algokrasi).
Ini adalah evolusi logis berikutnya. Pengambilan keputusan didelegasikan tidak hanya kepada ahli manusia, tetapi kepada AI dan algoritme kompleks. Sistem ini sudah digunakan untuk mengelola layanan publik, pemolisian prediktif, dan tatanan sosial.
Algokrasi adalah penyulingan paling murni dari cita-cita teknokratis karena ia berjanji untuk menghilangkan “cacat” terakhir dalam sistem: manusia itu sendiri. Algoritme disajikan sebagai rasionalitas murni, objektif, dan berbasis data. Ini adalah upaya untuk mencapai manajemen rasional yang sempurna dengan menghilangkan elemen manusia yang dianggap rapuh.
Namun, bentuk teknokrasi baru ini menciptakan tantangan yang lebih menakutkan:
- Bias: Algoritme dilatih dengan data historis kita, dan mereka dapat mewarisi serta memperkuat bias masyarakat yang ada.
- Transparansi “Kotak Hitam”: Seringkali, bahkan pembuatnya pun tidak mengerti mengapa sebuah model AI mengambil keputusan tertentu.
- Akuntabilitas: Jika algoritme membuat keputusan yang merugikan (misalnya, menolak pinjaman atau salah mengidentifikasi tersangka), siapa yang bertanggung jawab? Pemrogramnya? Pemerintah? Atau algoritme itu sendiri?
Kesimpulan
Ketegangan inti yang kita hadapi bukanlah antara keahlian dan ketidaktahuan. Ini adalah ketegangan antara dua mode penalaran yang berbeda. Di satu sisi, ada penalaran teknis dari para ahli, yang berfokus pada cara (how). Di sisi lain, ada penalaran politis dari warga negara, yang berfokus pada tujuan dan nilai (why/should).
Masyarakat yang sehat membutuhkan keduanya dalam hubungan simbiotik, bukan hierarkis. Kita harus memanfaatkan kekuatan pengetahuan ahli, sambil memastikan pengetahuan itu tetap tunduk dan akuntabel pada kontrol demokratis.
Ini berarti kita harus memupuk literasi ilmiah tanpa menyerah pada dogma saintistik. Ini berarti kita harus menuntut algoritme yang transparan dan dapat diperdebatkan.
Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa pertanyaan-pertanyaan terpenting yang dihadapi kemanusiaan—pertanyaan tentang keadilan, makna, dan kebaikan bersama—bukanlah masalah teknis yang harus dipecahkan. Mereka adalah komitmen etis yang harus diperdebatkan, dinegosiasikan, dan dipilih bersama. Para ahli dapat memberi kita peta, tetapi hanya kita, secara kolektif, yang dapat memutuskan ke mana kita harus pergi.










