highway, buildings, skyscrapers, traffic, aerial, panorama, central business district, metropolitan, indonesia, jakarta, busy, city, cityscape, architecture, urban, jakarta, jakarta, jakarta, jakarta, jakarta

Indonesia 2045 Bukan Sekadar Mimpi Digital: Ini Pertaruhan Produktivitas Kita

Beberapa tahun terakhir ini, kita semua merasakan gelombang itu. Sebuah optimisme digital yang luar biasa. Saya melihatnya setiap hari: dari warung kopi yang hanya menerima pembayaran digital hingga ambisi perusahaan-perusahaan besar untuk “go digital”. Rasanya, teknologi adalah jawaban atas semua masalah kita. Jika kita bisa online, kita bisa maju.

Data baru dari World Economic Forum (WEF) seakan membenarkan perasaan ini. Di Indonesia, 83% pemimpin bisnis percaya bahwa ‘perluasan akses digital’ adalah pendorong transformasi nomor satu. Angka ini jauh melampaui rata-rata global yang hanya 60%. Kita, tampaknya, jauh lebih percaya pada kekuatan digital dibanding bangsa lain.

Perbedaan 23 poin itu bukanlah sekadar selisih statistik biasa. Ini adalah sebuah pernyataan filosofis. Ini menunjukkan bahwa bagi para pemimpin bisnis di Indonesia, digitalisasi bukan lagi ‘salah satu’ tren yang bagus untuk diikuti. Ini dipandang sebagai strategi sentral—sebuah taruhan kolektif.

Mengapa kita bertaruh begitu besar? Karena tantangan struktural kita juga unik. Kita tidak sedang mencoba mengoptimalkan negara daratan yang sudah terhubung dengan rapi. Kita sedang mencoba menaklukkan takdir geografis kita.

Digitalisasi dipandang sebagai alat fundamental untuk memecahkan masalah terbesar kita: fragmentasi. Kita adalah negara kepulauan dengan 17.000 pulau yang tersebar di lautan luas. Menghubungkan pasar-pasar yang terpisah ini secara fisik, dengan jalan dan pelabuhan, membutuhkan biaya dan waktu yang luar biasa. Digitalisasi, bagi kita, adalah jalan pintas. Itu adalah tuas (lever) yang paling mungkin untuk melompati keterbatasan fisik dan logistik tersebut.

Tapi, saat saya mencoba menggali lebih dalam laporan ini—dan membandingkannya dengan analisis lain dari McKinsey—sebuah gambaran yang lebih rumit muncul. Saya mulai bertanya-tanya: Apakah kita sedang membangun sebuah lompatan besar, atau kita hanya sedang terobsesi dengan alat baru yang berkilauan? Apakah fokus kita pada digitalisasi ini sudah tepat sasaran, atau kita melupakan sesuatu yang jauh lebih fundamental?

Obsesi Digital dan Dinding Realita

Selama 70 tahun terakhir sebagai sebuah bangsa, taruhan ekonomi kita sering berganti-ganti. Kita pernah bertaruh besar pada komoditas dan pertanian. Kita pernah bertaruh pada manufaktur padat karya, memindahkan jutaan orang dari desa ke pabrik. Tapi taruhan kali ini—taruhan digital—terasa berbeda. Ini terasa lebih absolut.

Obsesi ini sangat bisa dipahami. Bagi sebuah spesies yang hidup terpencar di 17.000 pulau, ‘konektivitas’ bukanlah kemewahan; itu adalah syarat bertahan hidup. Selama ribuan tahun, kita mengandalkan kapal pinisi untuk menghubungkan pasar. Kini, kita mengandalkan kabel serat optik. Digitalisasi adalah cara paling efisien untuk mengatasi takdir geografis kita.

Tapi ada alasan lain yang lebih mendesak, alasan yang menjelaskan “mengapa sekarang”. Di balik layar, para pemimpin bisnis merasakan tekanan besar. Ada ketakutan regional bahwa pertumbuhan ekonomi akan melambat (dikutip oleh 69% pemimpin di Asia Tenggara). Ada kekhawatiran nyata bahwa ‘dinding’ perdagangan global semakin tinggi, membuat ekspor-impor lebih sulit (dikutip oleh 41% di Indonesia).

Ini bukan sekadar data makro yang membosankan. Ini adalah konteks ‘mengapa sekarang’. Tekanan ini adalah alasan urgensi yang kita rasakan. Perusahaan tidak sedang berinovasi dengan santai untuk pertumbuhan jangka panjang; mereka beradaptasi untuk bertahan hidup di kuartal berikutnya.

Dan di sinilah letak bahayanya. Ketika fokus Anda adalah bertahan hidup, Anda tidak sedang memikirkan Visi 2045. Anda sedang memikirkan cara memotong biaya hari ini.

Tekanan ganda—pertumbuhan lambat dan perdagangan sulit—menciptakan bias yang sangat kuat. Bias ini mendorong para pemimpin untuk menggunakan digitalisasi dan AI untuk satu tujuan utama: efisiensi. Mengotomatisasi pekerjaan, memotong biaya operasional, mengganti tenaga kerja yang mahal. Ini adalah mode defensif.

Masalahnya, mode defensif ini bisa berbenturan langsung dengan tujuan jangka panjang kita. Alih-alih menggunakan teknologi untuk menciptakan nilai tambah baru (produktivitas), kita berisiko terjebak menggunakannya hanya untuk memangkas biaya. Kita bisa memenangkan pertempuran jangka pendek (bertahan hidup di 2026) namun kalah dalam perang jangka panjang (gagal keluar dari jebakan pendapatan menengah di 2045).

Di tengah ancaman ini, digitalisasi memang tampak seperti satu-satunya perahu penyelamat. Tapi kita harus bertanya: perahu ini akan kita gunakan untuk apa? Apakah hanya untuk bekerja lebih efisien (memotong biaya), atau untuk berlayar ke dunia baru (menciptakan nilai)?

Gol Sebenarnya: Produktivitas, Bukan Sekadar Aplikasi

Di sinilah letak inti permasalahannya. Laporan WEF menunjukkan apa yang sedang kita lakukan (mengadopsi digital). Tapi laporan dari McKinsey Global Institute (MGI) menjelaskan mengapa kita seharusnya melakukannya—dan targetnya jauh lebih besar dari sekadar punya banyak aplikasi.

Target kita adalah Visi Indonesia 2045: menjadi negara berpenghasilan tinggi.

Analisis MGI brutal dan jujur. Untuk sampai ke sana, kita tidak bisa hanya tumbuh seperti biasa. Kita butuh dua lompatan struktural yang radikal:

  1. Lompatan Produktivitas 1,6x: Ini bukan sekadar angka. Ini berarti seorang pekerja Indonesia di masa depan harus bisa menghasilkan output yang setara dengan 1,6 pekerja hari ini. Seorang desainer grafis harus bisa menghasilkan 16 konsep desain dalam waktu yang sama ia perlukan untuk 10 konsep hari ini. Seorang akuntan harus bisa menganalisis data keuangan, bukan hanya mencatatnya. Ini adalah lompatan dari ‘pekerjaan sibuk’ menjadi ‘pekerjaan bernilai’.
  2. Lompatan Penskalaan 3x: Kita butuh tiga kali lipat lebih banyak perusahaan skala menengah dan besar. Ini adalah fondasi dari masyarakat kelas menengah yang stabil. Ini adalah jenis perusahaan yang menawarkan jenjang karir, tunjangan kesehatan, dan keamanan kerja—bukan sekadar ‘gigs’ atau pekerjaan kontrak jangka pendek. Tanpa perusahaan-perusahaan ini, kita hanya akan menjadi negara startup yang tidak pernah dewasa.

Dua target inilah yang seharusnya menjadi ‘bintang utara’ dari setiap rupiah yang kita investasikan dalam teknologi. Ini adalah ‘mengapa’ di balik ‘apa’ yang kita lakukan.

Mengapa ini sangat krusial? Karena tanpa tujuan yang terukur ini, fokus 83% pada digitalisasi tadi bisa menjadi bumerang. Ada risiko besar bahwa kita hanya akan menggunakan semua teknologi canggih itu untuk melakukan hal-hal lama dengan cara yang sedikit lebih murah.

Inilah yang disebut ‘jebakan pendapatan menengah’ (middle-income trap) dalam versi teknologi. Kita berhasil mengganti tenaga kerja administratif dengan AI, tapi kita gagal menciptakan peran baru yang bernilai lebih tinggi. Kita menjadi negara yang sangat efisien dalam melakukan pekerjaan berproduktivitas rendah. Kita menjadi bangsa yang sibuk, tapi tidak produktif. Kita bekerja keras, tapi tidak bertambah kaya.

Digitalisasi dan Kecerdasan Buatan (AI) adalah alat utama untuk lompatan ini. Tapi alat tersebut harus diarahkan untuk memecahkan masalah produktivitas (penciptaan nilai tinggi), bukan sekadar masalah biaya. Di sinilah letak risiko terbesarnya.

Paradoks Modal Manusia: Kita Punya Mobil Balap, Tapi…

Jika kita sudah tahu tujuannya (produktivitas) dan punya alatnya (digital), lantas apa yang bisa salah? Jawabannya: manusia.

Selama 200.000 tahun, keunggulan Homo Sapiens adalah kemampuan kita untuk belajar dan beradaptasi. Kita belajar membuat api, belajar bercocok tanam, belajar membangun mesin uap. Sekarang, kita menghadapi perubahan tercepat dalam sejarah: AI dan digital.

Kabar baiknya? Kita sadar akan hal ini. Data WEF menunjukkan 96% perusahaan di Asia Tenggara memiliki niat untuk melakukan upskilling atau reskilling (peningkatan keterampilan) karyawan mereka. Niat kita nyaris universal.

Kabar buruknya? Data yang sama menunjukkan bahwa penghalang nomor satu untuk transformasi bisnis saat ini adalah… ‘kesenjangan keterampilan’ (dikutip oleh 63% perusahaan).

Inilah “Paradoks Modal Manusia”. Kita tahu kita harus belajar, tapi kita gagal melakukannya dalam skala dan kecepatan yang dibutuhkan.

Kontradiksi ini adalah ‘hambatan’ yang sesungguhnya. Ini adalah titik di mana seluruh strategi besar kita bisa runtuh.

Pikirkan sejenak. Bayangkan kita telah menghabiskan triliunan rupiah untuk membangun sirkuit balap tercanggih (infrastruktur digital) dan membeli mobil Formula 1 terbaru (AI dan teknologi). Kita tahu di mana garis finisnya (Visi 2045). Tapi tepat saat bendera start akan dikibarkan, kita baru sadar: kita tidak punya pembalap yang bisa mengemudikannya. Kita hanya punya orang-orang yang terbiasa mengendarai mobil manual di jalanan macet.

Ini berarti, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern kita, kegagalan kita mungkin bukan karena kekurangan modal. Bukan karena kekurangan infrastruktur. Visi 2045 kita bisa gagal total hanya karena kita tidak memiliki cukup banyak manusia yang tahu cara menggunakan alat-alat itu secara produktif. Kita memiliki mobil balap, kita memiliki tujuan, tapi kita tidak memiliki pembalapnya.

Kita semua ingin melatih, tapi hasil di lapangan menunjukkan keterampilan kita tidak mengejar. Kita mungkin masih melatih orang untuk pekerjaan hari kemarin, bukan pekerjaan hari esok. Kita melatih orang cara menggunakan perangkat lunak, bukan cara berpikir dengan AI. Kita melatih ‘operator’ teknologi, padahal yang kita butuhkan adalah ‘pencipta’ nilai yang menggunakan teknologi.

Kekurangan kita yang sebenarnya bukanlah kekurangan modal atau teknologi. Kekurangan kita adalah keterampilan untuk menggunakan teknologi itu secara produktif.

Dari Konsumen Teknologi Menjadi Pencipta Nilai

Pada akhirnya, pertanyaan ini menentukan segalanya. Apakah kita hanya akan menjadi ‘produsen/konsumen’ teknologi—bangsa yang pandai menggunakan platform buatan orang lain? Atau kita bisa menjadi ‘pencipta’ nilai—bangsa yang menggunakan adopsi digital massal ini sebagai fondasi untuk inovasi baru?

Lompatan dari status negara menengah menjadi negara maju bukanlah lompatan teknologi. Itu adalah lompatan produktivitas. Dan lompatan produktivitas adalah lompatan manusia.

Saat saya menutup semua laporan ini, saya tidak merasa pesimis. Sebaliknya, saya merasa tertantang.

Selama ini, kita mungkin terlalu silau dengan teknologinya. Kita berpikir bahwa membangun infrastruktur digital adalah bagian tersulit. Ternyata bukan. Bagian tersulit bukanlah menghubungkan 17.000 pulau kita dengan kabel. Bagian tersulit adalah membangun ‘infrastruktur manusia’—jutaan otak yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif yang tinggal di atasnya.

Kabar baiknya adalah, masa depan kita tidak ditentukan oleh seberapa canggih AI yang kita beli. Masa depan kita ditentukan oleh seberapa baik kita belajar.

Visi 2045 tidak akan diwujudkan oleh kecepatan bandwidth kita, tapi oleh kedalaman berpikir kita. Visi itu tidak akan diwujudkan oleh kode. Visi itu akan diwujudkan oleh manusia yang lebih kreatif, lebih adaptif, dan lebih terampil yang menulis dan menggunakan kode tersebut.

Pekerjaan untuk membangun manusia itu dimulai hari ini, bukan menunggu akses digital kita 100%. Ini bukan pertaruhan teknologi. Ini adalah pertaruhan pada kemampuan kita untuk belajar. Ini pertaruhan kita yang sesungguhnya.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *