London, 1728.
Bayangkan Anda berdiri di pinggir jalan yang berkabut dan becek. Di tangan Anda, ada secarik koran Boston Gazette yang tintanya masih basah. Mata Anda tertuju pada sebuah iklan kecil yang mencolok: Tuan Caleb Philipps menawarkan pelajaran “Shorthand” (menulis cepat) yang dikirimkan setiap minggu lewat kuda pos.
Jantung Anda berdegup kencang. Di tengah kehidupan yang keras dan membosankan, iklan itu bukan sekadar menawarkan pelajaran menulis. Ia menawarkan jalan keluar. Ia menawarkan janji bahwa jika Anda menguasai skill ini, nasib Anda akan berubah. Anda merogoh saku, mengambil koin terakhir, dan mengirimkannya dengan penuh harap.
Sekarang, mari kita melompat 300 tahun ke masa depan.
Jakarta, 2024. Pukul 02.00 pagi.
Anda sedang berbaring di kamar yang gelap, wajah terpapar cahaya biru dari layar smartphone. Anda lelah dengan pekerjaan kantor yang menyita jiwa. Tiba-tiba, di sela-sela story teman yang sedang liburan, muncul wajah seorang pria muda di depan mobil sport.
“Apakah kamu lelah bekerja 9-to-5? Ingin bebas finansial di usia muda?” tanyanya dengan senyum meyakinkan.
Jantung Anda kembali berdegup, persis seperti leluhur Anda di London abad ke-18. Jari Anda melayang di atas tombol “Sign Up”.
Saya sering merenung, apakah ledakan bisnis kursus online yang kita lihat hari ini benar-benar sebuah fenomena baru akibat teknologi? Atau jangan-jangan, teknologi hanyalah kulit luar dari hasrat purba manusia yang tak pernah berubah: keinginan putus asa untuk membeli “jalan pintas” menuju status sosial yang lebih tinggi?
Mari kita tarik napas sejenak, mundur ke belakang (zoom out), dan melihat bagaimana industri ini sebenarnya bukan sekadar tentang transfer ilmu. Ini adalah kisah epik tentang psikologi, manipulasi, dan pencarian makna manusia di tengah ketidakpastian ekonomi.
Akar Sejarah: Evolusi “Jual Ludah” dan Skema Piramida
Kita sering kali salah kaprah mengira bahwa industri “jual ludah”—istilah kasar namun akurat untuk mereka yang menjual omongan tanpa bukti—adalah anak kandung revolusi digital. Padahal, arsitekturnya sudah dibangun jauh sebelum kabel internet pertama terpasang.
Pondasi pertamanya diletakkan pada abad ke-18 melalui kursus korespondensi. Inilah momen pertama dalam sejarah spesies kita di mana seorang guru bisa mengajar ribuan murid tanpa harus menatap mata mereka. Seorang ahli di London bisa memecahkan batasan geografis untuk mengajar petani di pedesaan.
Di sinilah konsep suci passive income—memisahkan waktu kerja dari jumlah uang yang didapat—benar-benar lahir. Bukan di Silicon Valley, tapi di kantor pos.
Namun, mutasi yang menciptakan stigma “jual ludah” hari ini terjadi pada tahun 1940-an di Amerika Serikat, melalui industri MLM (Nutrilite).
Bayangkan sebuah auditorium penuh sesak. Di panggung, seseorang berteriak tentang kebebasan finansial. Para pendiri Nutrilite menyadari fakta pahit: Menjual vitamin (produk nyata) itu membosankan dan marginnya tipis. Namun, menjual “Peluang Bisnis” (cara menjadi kaya) itu sangat seksi dan menguntungkan.
Inilah titik di mana industri ini terbelah dua:
- Edukasi Skill: Mengajarkan cara menjahit, koding, atau bahasa asing. Nilainya jelas.
- Edukasi Biz-Opp (Business Opportunity): Mengajarkan “cara menjadi kaya”. Nilainya abstrak.
Di kategori kedua inilah istilah “Jual Ludah” menemukan bentuknya yang paling murni. Banyak “Mastermind” zaman sekarang tidak mengajarkan bisnis riil. Mereka mengajarkan Anda cara membuat kursus tentang cara membuat kursus.
Ini adalah skema ouroboros (ular memakan ekornya sendiri). Sang Guru kaya bukan karena dia jago investasi saham atau jago properti. Dia kaya karena ribuan orang membayar dia untuk belajar cara menjadi seperti dia. Dan apa yang dia ajarkan? Dia mengajarkan muridnya untuk mencari murid baru.
Internet tidak menciptakan monster ini; internet hanya memberinya steroid. Jika dulu Nutrilite butuh seminar fisik, kini para “Sultan dadakan” cukup menyewa Airbnb mewah sehari, merekam 100 video TikTok, dan membiarkan algoritma mencari mangsa.
Arsitektur Persuasi: Funnel & Jebakan Psikologis
Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa materi gratisan di YouTube sering kita abaikan, tapi kita rela merogoh kocek jutaan rupiah untuk bisnis kursus online yang isinya kadang mirip?
Jawabannya bukan pada kualitas materi, melainkan pada arsitektur persuasi yang dirancang dengan presisi militer untuk meretas otak reptil kita. Mari kita bongkar dua pilar utamanya.
1. The Value Ladder: Seni Menggiring Domba
Dalam dunia pemasaran digital modern, ada satu konsep yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Russell Brunson (pendiri ClickFunnels) yang disebut The Value Ladder atau Tangga Nilai. Filosofinya sederhana namun mematikan: Pelanggan adalah domba yang harus digiring pelan-pelan ke kandang mahal.
Mekanismenya bekerja seperti sebuah drama tiga babak:
- Babak 1: Umpan (The Bait). Anda ditarik dengan tawaran yang tak bisa ditolak. “E-book gratis! Rahasia Omset 1 Miliar, cukup bayar ongkir!” Anda berpikir, “Ah, cuma bayar ongkir, rugi apa?” Tanpa sadar, saat Anda memasukkan email, Anda sudah masuk ke dalam jaring laba-laba.
- Babak 2: Jembatan Epifani (The Story). Di tahap ini, logika tidak laku. Yang dijual adalah emosi. Sang Mentor muncul dengan kisah heroik: “Dulu saya miskin, tidur di garasi, ditolak mertua. Tapi kemudian saya menemukan Rahasia X…” Kisah ini dirancang untuk membuat Anda melihat cermin: “Dia dulu sama menderitanya seperti saya. Kalau dia bisa, saya juga pasti bisa.”
- Babak 3: Eskalasi (The Upsell). Begitu kepercayaan terbangun, tawaran mulai naik. Dari kelas video Rp500 ribu, ke Workshop Rp5 juta, hingga akhirnya “Inner Circle Mastermind” seharga Rp50 juta di Bali.
Tanpa sadar, skeptisisme kita dikikis perlahan melalui serangkaian persetujuan kecil (micro-commitments).
2. Sunk Cost Fallacy: Penjara Mental Biaya Hangus
Mari kita masuk ke dalam kepala seorang korban. Sebut saja Budi.
Budi baru saja mentransfer Rp20 juta untuk kelas “Master Trading”. Setelah masuk, ia sadar videonya hanya berisi teori dasar yang ada di Google. Budi marah? Tidak. Budi justru merasa bersalah.
“Masa sih kelas semahal ini jelek? Pasti aku yang kurang paham. Pasti aku yang kurang praktek,” bisik Budi dalam hati.
Inilah Sunk Cost Fallacy (Kesesatan Biaya Hangus).
Otak manusia memiliki cacat bawaan: kita jauh lebih takut kehilangan daripada bersemangat mendapatkan keuntungan. Ketika uang Rp20 juta sudah keluar, uang itu menjadi “biaya hangus”. Mengakui kursus itu buruk sama saja dengan Budi berdiri di depan cermin dan berkata, “Budi, kamu bodoh sekali sudah tertipu.”
Itu terlalu menyakitkan bagi ego. Maka, Budi memilih berbohong pada dirinya sendiri. Ia tetap melanjutkan kursus, bahkan memberikan testimoni positif palsu, hanya untuk memvalidasi keputusannya sendiri. Industri ini tumbuh subur di atas keengganan kita untuk mengakui kesalahan.
Kegagalan Model Gratis (MOOCs)
Sebagai perbandingan kontras, lihatlah era MOOCs (Massive Open Online Courses) di awal 2010-an. Saat materi kuliah Harvard dan MIT digratiskan, tingkat penyelesaiannya (completion rate) rata-rata hanya 10-15%. Tanpa pertaruhan uang, tidak ada urgensi. Data ini sering dipakai para guru bisnis untuk membenarkan harga mahal mereka dengan dalih “menciptakan komitmen”, padahal sering kali yang tercipta hanyalah “keterpaksaan karena takut rugi”.
Data Gelap Industri: Ekonomi Refund & Biaya Akuisisi
Di balik panggung Instagram yang gemerlap, di belakang story mobil mewah dan liburan ke Eropa, terdapat ruang mesin yang kotor dan berdarah-darah.
1. Realitas Pengembalian Dana (The Refund Economy)
Jika Anda membuka toko baju, mungkin hanya 8-9% pembeli yang mengembalikan barang. Tapi di dunia produk digital? Angkanya bisa meledak hingga 20-30%.
Bayangkan kepanikan seorang “Guru” ketika di akhir bulan, sepertiga pendapatannya hilang karena murid-muridnya sadar (sadar dari hipnotis marketing) dan meminta uang kembali (refund). Inilah yang disebut Buyer’s Remorse atau penyesalan pembeli.
Untuk menahan laju uang keluar ini, para guru memasang benteng bernama “Garansi Bersyarat”. “Uang Kembali 100%!” tulis mereka besar-besar. Tapi syarat dan ketentuannya ditulis dengan huruf mikroskopis: Anda harus mengerjakan tugas yang mustahil selesai dalam 30 hari. Garansi itu bukan jaminan keamanan; itu adalah jebakan.
2. Jebakan Biaya Akuisisi (CAC)
Mitos terbesar industri ini adalah “Margin Profit 100%”.
Kenyataannya, biaya iklan (ads) di Facebook dan YouTube semakin hari semakin mencekik. Untuk mendapatkan satu murid yang membayar, seorang kreator mungkin harus membakar jutaan rupiah di iklan.
Keuntungan dari penjualan E-book pertama Anda? Habis dimakan Mark Zuckerberg untuk biaya iklan. Satu-satunya cara agar dapur tetap ngebul adalah dengan memaksa Anda membeli produk kedua, ketiga, dan keempat yang jauh lebih mahal.
Jadi, ketika Anda diteror oleh email marketing setiap hari, sadarilah: Itu bukan tanda mereka peduli pada kesuksesan Anda. Itu tanda mereka sedang panik menutupi biaya operasional yang menganga.
Kesenjangan Hukum: Langit dan Bumi Penegakan Aturan
Ketika kita berbicara tentang bisnis kursus online, kita tidak bisa mengabaikan aspek legalitas. Di sinilah letak ironi terbesar industri ini: nasib Anda bergantung pada di negara mana Anda berada.
Di Amerika Serikat: Taring Tajam FTC
Di AS, regulator perdagangan federal (FTC) tidak main-main. Mereka mulai memburu para penjual mimpi.
Lihatlah nasib Online Trading Academy dan Lurn. Kedua raksasa ini dipaksa bertekuk lutut. FTC melarang keras mereka membuat klaim pendapatan muluk (seperti “Cari $10.000 sebulan sambil tiduran”) kecuali mereka punya data rata-rata.
Kata “rata-rata” ini mematikan. Kenapa? Karena biasanya hanya 1% siswa jenius yang sukses, sementara 99% gagal. Aturan ini memaksa guru untuk jujur, sesuatu yang sangat mereka benci.
Di Indonesia: Wilayah Abu-abu yang Berbahaya
Sebaliknya, di Indonesia, kita masih hidup di era Wild West. Hukum rimba berlaku.
Ingat kasus Jouska? Awalnya dipuja sebagai pahlawan finansial milenial, ternyata di belakang layar bermain sebagai manajer investasi ilegal. Kasus ini baru ditindak setelah kerugian miliaran terjadi.
Ini adalah peringatan keras: Di media sosial Indonesia, siapa pun bisa memakai jas, menyewa mobil mewah, dan mengaku “Master”. Tidak ada polisi yang memeriksa apakah sertifikat mereka asli atau hasil cetakan printer sendiri.
Adakah Cahaya di Ujung Terowongan? Alternatif Etis (ISA)
Namun, cerita ini tidak harus berakhir suram. Di tengah kegelapan, ada secercah cahaya harapan. Model baru yang lebih adil mulai muncul.
Model ini disebut Income Share Agreement (ISA).
Bayangkan sebuah sekolah pemrograman seperti Hacktiv8. Mereka berani berkata: “Jangan bayar kami sekarang. Belajarlah dulu. Bayar kami nanti, HANYA jika kamu sudah dapat kerja dengan gaji tinggi.”
Ini adalah revolusi.
Sekolah tidak lagi bisa asal jual kecap. Jika lulusannya menganggur, sekolahnya bangkrut. Risiko finansial yang tadinya membebani siswa miskin, kini diambil alih oleh institusi kaya. Ini memaksa sekolah untuk benar-benar mengajar skill yang dibutuhkan industri, bukan sekadar jago ngomong.
Masa Depan: Ketika AI Mengambil Alih Guru
Lalu, ke mana arah bisnis kursus online ini berjalan?
Kita sedang berada di tepi jurang revolusi baru. Kecerdasan Buatan (AI) kini mampu mensintesis informasi jauh lebih cepat dan akurat daripada guru manusia mana pun.
Jika bisnis Anda hanya menjual “informasi” (contoh: Cara Membuat Website), bersiaplah gulung tikar. ChatGPT bisa mengajarkannya dalam 5 detik, gratis, dan lebih sabar daripada Anda.
Di masa depan, nilai dari sebuah “pengetahuan” akan jatuh mendekati nol.
Implikasinya? Para pengajar yang bertahan bukanlah “Penjual Informasi”, melainkan “Arsitek Komunitas”. Kita tidak lagi butuh orang yang memberi tahu apa yang harus dilakukan. Kita butuh orang yang menemani kita melakukannya, menjaga kita tetap disiplin, dan menyediakan bahu saat kita gagal.
Penutup: Jadilah Pembeli yang Sadar
Sejarah manusia adalah sejarah pencarian makna dan keamanan. Selama kita masih merasa cemas akan masa depan, akan selalu ada orang yang berdiri di atas panggung—baik di alun-alun kota London abad ke-18 maupun di layar TikTok tahun 2024—menawarkan botol ajaib berisi harapan.
Artikel ini bukan ajakan untuk membenci pendidikan. Pendidikan adalah satu-satunya cara kita naik kelas. Tapi, ini adalah ajakan untuk memurnikan niat.
Saat Anda hendak menekan tombol “Beli” pada kelas online berikutnya, berhentilah sejenak. Tarik napas. Tanyakan pada diri Anda:
“Apakah saya membeli ini karena saya siap menderita untuk belajar keahlian baru? Atau saya sedang membeli ‘obat penenang’ karena takut tertinggal?”
Pendidikan sejati tidak pernah instan. Ia menyakitkan, lambat, dan menuntut keringat. Ia tidak dijual dalam kemasan get-rich-quick.
Mari menjadi pembelajar yang cerdas, yang membeli ilmu, bukan membeli mimpi kosong.










