Dari Belajar Permukaan ke Deep Learning

Selama beberapa dekade, lanskap pendidikan nasional kita beroperasi layaknya sebuah pabrik yang efisien. Tujuan utamanya jelas: mencetak keseragaman. Metrik keberhasilannya adalah kemampuan siswa untuk mereproduksi informasi yang sama persis, yang kita kenal sebagai hafalan (rote learning).

Kita berkali-kali mencoba mereformasi pabrik ini. Kita mengganti mesinnya—mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, beralih ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, hingga Kurikulum 2013 (K13). Namun, anehnya, produk yang dihasilkan tetap sama. Para siswa masih dilatih untuk menghafal, bukan memahami.

Mengapa? Karena kita selama ini salah fokus. Kita sibuk mengganti mesin (kurikulum), padahal masalah sebenarnya ada pada sistem insentif yang mengendalikannya.

Kini, dengan Kurikulum Merdeka (KM), sebuah perubahan fundamental telah terjadi. Namun, revolusi terbesarnya bukanlah kurikulum itu sendiri. Revolusi sunyi itu adalah kematian sebuah sistem yang selama ini memaksa kita untuk menghafal.

Perang Paradigma: Dari Gelas Kosong ke Arsitek Pengetahuan

Untuk memahami besarnya pergeseran ini, kita harus melihat akar filosofisnya. Selama ini, sistem kita secara implisit menganut model “gelas kosong”. Guru adalah sumber air, dan siswa adalah gelas yang harus diisi. Pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang bisa ditransfer utuh.

Sejak 1976, peneliti seperti Marton dan Säljö mengidentifikasi dua pendekatan fundamental dalam belajar.

Pertama adalah “Surface Learning” (Belajar di Permukaan). Ini adalah pembelajaran yang didorong oleh motivasi ekstrinsik: lulus ujian, dapat nilai bagus, atau menghindari hukuman. Fokusnya adalah menghafal fakta, istilah, dan rumus secara terisolasi. Ini adalah mode operasional dari pabrik penghafal. Hasilnya? Pengetahuan yang rapuh, mudah lupa, dan tidak bisa diterapkan di konteks baru.

Kedua adalah “Deep Learning” (Belajar Mendalam). Pendekatan ini didorong oleh motivasi intrinsik: rasa ingin tahu yang tulus dan keinginan untuk benar-benar paham. Siswa yang “belajar mendalam” tidak sekadar mengumpulkan fakta; mereka mencari pola, melihat gambaran besar, dan secara aktif menghubungkan ide-ide baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.

Landasan filosofis dari deep learning ini berakar kuat pada teori konstruktivisme, gagasan yang dipelopori oleh pemikir seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Argumen intinya provokatif: pengetahuan tidak bisa ditransfer atau dituangkan. Pengetahuan harus dibangun (constructed) secara aktif oleh siswa di dalam benak mereka sendiri.

Dalam pandangan ini, siswa bukanlah gelas kosong, melainkan seorang arsitek. Guru bukanlah pengisi gelas, melainkan fasilitator yang menyediakan bahan baku, menunjukkan alat, dan mengajukan pertanyaan yang memantik proses konstruksi itu.

Secara konseptual, pedagogi deep learning membutuhkan tiga komponen psikologis untuk bisa berhasil:

  1. Motivasi Intrinsik (Bahan Bakar): Ini adalah pemicu utama. Deep learning sulit terjadi jika motivasi siswa murni ekstrinsik (nilai). Pedagogi harus bergeser dari instruksi (“Pelajari bab 5 untuk ujian”) ke inkuiri (“Menurut kalian, mengapa fenomena sosial ini terjadi di masyarakat kita?”).
  2. Metakognisi (Kompas): Ini adalah kemampuan siswa untuk “berpikir tentang cara berpikirnya sendiri”. Siswa harus bisa secara sadar memantau dirinya dan bertanya, “Apakah saya sudah benar-benar paham konsep ini, atau saya baru hafal definisinya?” Ini difasilitasi melalui jurnal refleksi dan self-assessment.
  3. Transfer Pengetahuan (Tujuan Akhir): Ini adalah bukti sejati dari deep learning. Transfer adalah kemampuan mengambil konsep yang dipelajari di kelas (misal: rumus matematika) dan menerapkannya untuk memecahkan masalah yang sama sekali baru di dunia nyata (misal: menghitung anggaran untuk acara OSIS).

Masalah kronis sistem pendidikan kita selama ini adalah: desainnya (terutama Ujian Nasional) secara sistematis memberi insentif tertinggi pada surface learning dan membunuh ketiga komponen deep learning.

Sejarah Kegagalan Sistemik: Ilusi Perubahan Kurikulum

Sejarah reformasi kita adalah sejarah ketidakselarasan sistemik. Kita selalu tahu ada masalah, tapi kita selalu salah mendiagnosis obatnya.

Bahkan di era Orde Baru, kita sudah mencoba. Kurikulum 1984 secara filosofis memperkenalkan “Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA). Ini adalah upaya paling awal menuju pembelajaran student-centered. Tujuannya agar siswa aktif berdiskusi dan bekerja dalam kelompok.

Namun, CBSA gagal total di lapangan. Kegagalan ini bukan murni karena guru tidak siap. Kegagalan ini bersifat sistemik. Di satu sisi, guru didorong secara filosofis untuk menerapkan CBSA (diskusi). Di sisi lain, seluruh sistem dievaluasi berdasarkan Ebtanas (Ujian Nasional era itu), sebuah asesmen high-stakes yang sangat berorientasi pada ingatan faktual dan hafalan.

Sistem ini mengirimkan pesan yang bertentangan. Guru dan siswa merespons insentif ini secara rasional: Mengapa menghabiskan waktu berdiskusi (CBSA) jika ujian akhir hanya menuntut hafalan (Ebtanas)? Akibatnya, praktik kelas tetap didominasi ceramah dan drilling soal.

Lalu, era reformasi tiba. Kita mencoba lagi.

Lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 adalah upaya besar pertama untuk menggeser fokus, dari penguasaan konten/materi ke penguasaan kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Ini, secara definisi, menuntut deep learning.

KBK 2004 kemudian disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Inovasi utamanya adalah desentralisasi. Sekolah diberi otonomi dan kebebasan untuk mengembangkan kurikulum operasionalnya sendiri.

Secara teoretis, KTSP adalah momen di mana deep learning seharusnya bisa meledak. Tapi, KTSP menjadi studi kasus sempurna dari “jurang antara kebijakan dan praktik” (policy-practice gap).

Kebebasan yang diberikan itu ternyata ilusi. Mengapa? Karena disinsentif sistemik dari Ujian Nasional (UN) yang masih berorientasi surface learning tetap ada. Sekali lagi, kita memberi kebebasan dengan satu tangan (KTSP), tapi memegang cambuk di tangan yang lain (UN). Insentif (lulus UN) mengalahkan kebebasan (KTSP).

Karena “kebebasan” gagal, negara mencoba pendekatan “paksaan”.

Lahirnya Kurikulum 2013 (K13) mengambil langkah yang berbeda. Alih-alih hanya memberi kebebasan, K13 secara eksplisit mewajibkan (mandated) implementasi pedagogi deep learning secara nasional.

Mandat ini diwujudkan melalui Pendekatan Saintifik (5M: Mengamati, Menanya, Menalar, dst.) dan Pembelajaran Tematik-Integratif. Ini adalah upaya formal untuk mengoperasionalkan konstruktivisme di dalam kelas.

Namun, K13 hanya menciptakan ketegangan baru yang lebih parah. Di satu sisi, K13 mewajibkan metode deep learning (5M) yang padat proses dan memakan waktu. Di sisi lain, K13 masih mempertahankan dua monster lama: (1) Beban konten yang sangat padat (“kejar tayang materi”), dan (2) Ujian Nasional sebagai tolok ukur utama.

Guru pun terjebak dalam dilema yang mustahil: antara memenuhi kewajiban metodologi (5M) atau memenuhi kewajiban konten (menyelesaikan bab untuk UN). Ini ibarat meminta seorang koki fine dining untuk bekerja di jalur fast-food. Metodenya canggih, tapi tujuannya masih sama: efisiensi hafalan.

Revolusi Sebenarnya: Kematian Ujian Nasional

Kurikulum Merdeka (KM) adalah upaya transformasi paling sistemik hingga saat ini, karena ia dirancang secara sadar untuk mengatasi kegagalan fundamental para pendahulunya.

KM melakukan dua intervensi kunci:

  1. Menyederhanakan Konten: Fokus hanya pada materi esensial. Ini adalah langkah krusial untuk menciptakan waktu. Waktu bagi guru dan siswa untuk mendalami materi, alih-alih terburu-buru “kejar tayang.”
  2. Menghapus Ujian Nasional: Ini adalah inti revolusinya.

Penghapusan UN dan penggantiannya dengan Asesmen Nasional (AKM) adalah prasyarat sistemik mutlak yang memungkinkan deep learning akhirnya bisa terjadi.

Mengapa? Karena AKM mengubah total insentif sistem:

  • Dari High-Stakes ke Low-Stakes: Hasil UN menentukan kelulusan individu. Hasil AKM tidak. Ia hanya memetakan mutu sekolah. Ini menghilangkan “ancaman” dari asesmen.
  • Dari Konten ke Kompetensi: UN menguji hafalan Biologi atau Sejarah. AKM menguji kompetensi mendasar: Literasi (kemampuan bernalar menggunakan teks) dan Numerasi (kemampuan bernalar menggunakan data).
  • Dari Hafalan ke Penalaran: AKM secara eksplisit mengukur deep learning.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, insentif sistem (AKM yang berbasis penalaran) kini selaras dengan tujuan pedagogi (Kurikulum Merdeka yang fokus pada pemaknaan).

Mesin Baru Telah Tiba: Menerjemahkan Konsep ke Dalam Kelas

Dengan runtuhnya hambatan sistemik (UN) dan terciptanya ruang (materi esensial), Kurikulum Merdeka akhirnya bisa menyalakan mesin barunya. “Mesin” ini adalah metodologi-metodologi teknis yang secara spesifik dirancang untuk memfasilitasi deep learning di dalam kelas.

Ada tiga kendaraan teknis utama yang didorong:

  1. Inquiry-Based Learning (IBL): Ini adalah metode yang membalik titik berangkat. Pedagogi lama dimulai dengan jawaban (misal: “Sebutkan isi Sumpah Pemuda”). IBL dimulai dengan “Pertanyaan Besar” (Big Question) yang memantik rasa ingin tahu. Dalam pelajaran Sejarah, guru tidak lagi bertanya, “Kapan Perang Diponegoro terjadi?” (fakta hafalan), melainkan, “Mengapa seorang pangeran yang nyaman di keraton tiba-tiba merasa perlu memimpin perang gerilya melawan kekuatan militer terbesar di dunia saat itu?” Pertanyaan ini tidak memiliki satu jawaban benar di buku teks. Ia memicu motivasi intrinsik dan memaksa siswa untuk melakukan investigasi, menalar, dan menganalisis berbagai bukti (politik, ekonomi, religius). Di sini, peran guru bergeser total: dari “sumber belajar” menjadi “fasilitator dan motivator” yang memandu proses penemuan, bukan pemberi jawaban akhir.
  2. Project-Based Learning (PjBL) / Problem-Based Learning (PBL): Jika IBL adalah cara bertanya, PjBL adalah cara menerapkannya dalam skala besar. Dalam PjBL, siswa tidak diberi materi jadi, melainkan diberi proyek atau masalah dunia nyata yang kompleks dan relevan. Siswa tidak lagi menghafal definisi polusi (surface), tetapi ditugaskan untuk mengukur dan merancang solusi nyata untuk meningkatkan kualitas udara di kantin sekolah (deep). Untuk menyelesaikan proyek ini, siswa tidak bisa lagi berpikir dalam satu kotak mata pelajaran. Mereka dipaksa untuk mencari, menghubungkan, dan menerapkan konsep dari berbagai disiplin—Biologi (dampak polusi), Kimia (zat polutan), Sosiologi (mengubah perilaku warga sekolah), dan Bahasa Indonesia (membuat proposal). Inilah esensi transfer pengetahuan dalam bentuknya yang paling murni; siswa tidak mempelajari tentang dunia, mereka bertindak di dalam dunia.
  3. Flipped Classroom (Kelas Terbalik): Metode ini membalik tatanan tradisional secara radikal. Ia mengakui bahwa aktivitas surface learning (penyampaian materi dasar, konsep, definisi) tidak harus membuang waktu tatap muka yang berharga. Siswa bisa mempelajarinya secara mandiri di rumah melalui video atau bacaan. Waktu berharga di kelas kemudian digunakan seluruhnya untuk aktivitas deep learning—diskusi, debat, studi kasus, dan pemecahan masalah kompleks. Peran guru di kelas bukan lagi sebagai penceramah, melainkan sebagai konsultan ahli yang berkeliling membantu kelompok-kelompok yang sedang bergulat memecahkan masalah, memberikan umpan balik personal tepat pada saat dibutuhkan.

Di sinilah letak studi kasus terbesar dan paling formal dari deep learning yang diamanatkan pemerintah: Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

P5 pada dasarnya adalah implementasi PjBL dan IBL dalam skala nasional, yang mengambil 20-30% jam pelajaran. P5 adalah wahana yang dirancang secara eksplisit untuk melatih knowledge transfer dan kompetensi holistik.

Medan Perang Baru: Tabrakan Mesin Baru dengan Budaya Lama

Hambatan kebijakan struktural (UN) telah runtuh dan mesin baru (P5, PjBL) telah dipasang. Namun, ini bukan akhir dari cerita. Ini adalah akhir dari babak pertama.

Babak kedua adalah medan perang baru yang jauh lebih sulit: perang melawan inersia kultural. Musuh terbesarnya adalah “inersia paradigma”—kecanduan kita pada metrik-metrik surface learning yang telah mengakar selama puluhan tahun.

Mesin P5 yang canggih itu kini berbenturan langsung dengan inersia paradigma dari tiga aktor kunci:

  1. Bagi Guru: Banyak guru yang merupakan produk sistem hafalan. Beralih peran dari “sumber ilmu” menjadi “fasilitator” adalah pergeseran identitas yang sulit.
  2. Bagi Siswa: Siswa yang terbiasa “disuapi” informasi sering frustrasi ketika diminta “menemukan sendiri.” Mereka masih menagih “rangkuman” atau “kunci jawaban” karena dianggap lebih efisien.
  3. Bagi Orang Tua: Ini adalah hambatan kultural terbesar. Persepsi sukses masih terkunci pada nilai rapor (angka) dan peringkat kelas. P5 dianggap sebagai “ajang bermain-main” dan “membuang waktu,” padahal di situlah esensi dunia kerja sedang dilatih.

Inilah mengapa P5 (intervensi struktural) tidak bisa bekerja sendirian. Ia membutuhkan “bahan bakar” kultural, seperti intervensi bottom-up dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), yang fokus menciptakan lingkungan aman secara psikologis (psychologically safe)—lingkungan di mana siswa berani bertanya, berani gagal, dan berani berdebat.

Ditambah tantangan logistik yang brutal, seperti ukuran rombongan belajar yang besar (36-40 siswa), menerapkan pembelajaran mendalam yang personal menjadi nyaris mustahil secara fisik bagi satu guru.

Penutup: Dari Penghafal Menjadi Pemakna

Pergeseran dari surface ke deep learning bukanlah sekadar perubahan teknis kurikulum. Ini adalah upaya mengubah identitas bangsa: dari bangsa penghafal menjadi bangsa pemakna.

Kita sedang beralih dari sistem yang bertanya, “Apa yang kamu hafal?” menuju sistem yang bertanya, “Apa yang bisa kamu lakukan dengan apa yang kamu tahu?”

Perjalanan ini akan panjang dan melelahkan. Hambatan budaya ini nyata dan sulit ditaklukkan. Namun, untuk pertama kalinya, desain sistem pendidikan kita—dari kurikulum hingga asesmennya—kini mendukung kita.

Tugas kita sekarang adalah mengawal transisi budaya ini. Ini menuntut tiga kesadaran kolektif:

  1. Bagi Orang Tua dan Publik: Kita harus mengubah metrik kesuksesan kita sendiri. Kita harus berhenti menagih “peringkat kelas” dan “nilai angka”—metrik surface learning—dan mulai bertanya, “Masalah menarik apa yang kamu pecahkan di sekolah hari ini?” Kita perlu mengedukasi diri kita sendiri bahwa P5 yang terlihat seperti “bermain-main” itu justru adalah simulasi dunia kerja yang sesungguhnya.
  2. Bagi Pendidik: Tantangannya adalah beralih dari sekadar “menghadiri seminar PjBL” menjadi “mempraktikkannya secara kolaboratif”. Perubahan ini tidak terjadi di ruang seminar, tapi di dalam lesson study kolektif di sekolah untuk merancang, gagal, dan mengulang siklus proyek bersama-sama.
  3. Bagi Sistem: Kita harus jujur secara logistik. Kita tidak bisa menuntut “pembelajaran berdiferensiasi” yang personal dan intensif dari seorang guru yang seorang diri harus mengelola 40 siswa dalam satu kelas. Deep learning memiliki harga; ia menuntut investasi pada rasio guru-siswa yang lebih manusiawi atau teknologi yang benar-benar membantu fasilitasi, bukan sekadar administrasi.

Pada akhirnya, kita tidak sedang mengimpor konsep Barat. Kita sedang kembali ke akar filosofi pendidikan kita sendiri. Ki Hadjar Dewantara, dengan sistem “Among”-nya, telah meletakkan dasar deep learning sejak 1922. Guru sebagai fasilitator yang “Tut Wuri Handayani”—memberi dorongan dari belakang saat siswa bereksplorasi—adalah esensi sejati dari pedagogi ini.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *