Agenda 2030 (SDGs): Evolusi Sains di Era Polikrisis

Pada tahun 2015, umat manusia mungkin melakukan eksperimen paling ambisius dalam sejarahnya. Sebanyak 193 negara mengadopsi Agenda 2030, sebuah cetak biru kolektif yang terdiri dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ini bukan sekadar daftar harapan; ini adalah upaya spesies kita untuk beralih dari manajemen krisis yang reaktif menjadi desain masa depan yang proaktif.

Namun, saat kita melewati titik tengah menuju 2030, laporan global memberikan vonis yang brutal: kita “sangat tidak berada di jalur” (severely off-track). Kemajuan yang lambat terhenti sejak 2020, dibajak oleh apa yang disebut sebagai “polikrisis”—badai sempurna dari pandemi, konflik geopolitik, dan percepatan kekacauan iklim.

Namun, di balik berita utama tentang kegagalan implementasi, ada cerita lain yang sedang berkembang, cerita yang mungkin lebih penting dalam jangka panjang: evolusi penelitian itu sendiri. Kegagalan kita untuk mencapai SDGs telah secara radikal mengubah cara kita mempelajari SDGs.

Artikel ini tidak akan membahas 17 tujuan satu per satu. Sebaliknya, kita akan melacak sejarah gagasan ini, menganalisis mengapa arsitektur ambisius ini goyah, dan menelaah bagaimana krisis ini justru memicu lahirnya alat-alat penelitian baru yang kuat—mulai dari AI hingga tata kelola lokal.

Sejarah: Dari Agenda Bantuan ke Revolusi Universal

Sustainable Development Goals (SDGs) tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari analisis kritis terhadap kegagalan pendahulunya, Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2000. MDGs, dengan 8 tujuannya, adalah upaya terukur pertama kita, namun ia dirancang dengan kelemahan filosofis yang fatal.

Kritik utama terhadap MDGs adalah desainnya. Pertama, ia bersifat “Top-Down”; dirumuskan oleh sekelompok kecil ahli, MDGs terasa seperti agenda yang dipaksakan dari luar bagi banyak negara. Kedua, fokusnya terlalu sempit, secara esensial menciptakan agenda “Utara-Selatan” (donor-penerima) yang hanya berfokus pada masalah di negara berkembang dan mengabaikan peran negara maju dalam menciptakan atau menyelesaikan masalah global.

Ketiga, dan yang paling merusak secara ilmiah, MDGs bersifat “silo” (terkotak-kotak). Para ahli kesehatan meneliti MDG 6 (HIV/AIDS) seolah-olah itu terpisah dari MDG 7 (Lingkungan), dan keduanya terpisah dari MDG 1 (Kemiskinan). Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa kesehatan manusia sangat bergantung pada stabilitas lingkungan dan ekonomi.

Menjelang 2012, dalam Konferensi PBB Rio+20, konsensus global bergeser. Dunia tidak lagi membutuhkan agenda bantuan; dunia membutuhkan agenda transformasi. Proses perumusan SDGs, yang dipimpin oleh Open Working Group (OWG), secara radikal bersifat inklusif, melibatkan konsultasi luas dengan negara, masyarakat sipil, dan akademisi.

Hasilnya adalah Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2015. Pergeseran ini bukan sekadar pembaruan; ini adalah revolusi filosofis. Prinsip intinya adalah Universalitas: SDGs berlaku untuk semua negara. Amerika Serikat memiliki pekerjaan rumah tentang kesenjangan (SDG 10) dan konsumsi (SDG 12), sama seperti negara berkembang memiliki pekerjaan rumah tentang kemiskinan (SDG 1).

Prinsip kedua adalah Integrasi: Ke-17 tujuan ini “terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan”. Ini adalah perubahan paradigma. Penelitian tidak bisa lagi bertanya, “Bagaimana cara mencapai SDG 3 (Kesehatan)?” Pertanyaan baru adalah, “Bagaimana investasi di SDG 3 memengaruhi SDG 13 (Iklim) dan SDG 8 (Ekonomi)?” Ini adalah pergeseran paksa dari pemikiran linear ke pemikiran sistemik, memaksa para peneliti untuk memetakan interlinkages (keterkaitan), synergies (saling mendukung), dan trade-offs (saling bertentangan).

Arsitektur Ambisi: 5 Prinsip, 17 Tujuan, dan Mesin Penelitian

Untuk memahami mengapa SDGs mengubah penelitian, kita harus membedah arsitekturnya. Ini bukan hanya daftar; ini adalah kerangka kerja analitis yang dibangun di atas lima prinsip inti:

  1. Universalitas: Mengakhiri pembagian “donor-penerima”. Semua negara memiliki tanggung jawab.
  2. Integrasi: Tujuan tidak dapat dipisahkan. Kemajuan di satu area tidak boleh merusak area lain. Ini adalah prinsip yang paling menantang secara analitis.
  3. Leaving No One Behind (Tidak Meninggalkan Siapapun): Janji utama untuk fokus pada kelompok paling rentan. Bagi peneliti, ini menciptakan mandat untuk data terpilah (disaggregated data)—memecah data berdasarkan jenis kelamin, usia, disabilitas, dan geografi.
  4. Kemitraan Multi-Pihak: Pengakuan eksplisit bahwa pemerintah tidak dapat melakukannya sendiri. Sektor swasta, akademisi (peneliti), dan masyarakat sipil adalah aktor sentral.
  5. The 5 “P”s: Kerangka kerja ini diringkas secara tematis sebagai: People (Manusia – mengakhiri kemiskinan/kelaparan), Planet (Bumi – melindungi ekosistem), Prosperity (Kemakmuran – ekonomi inklusif), Peace (Perdamaian – kelembagaan yang adil), dan Partnership (Kemitraan).

Di bawah prinsip-prinsip ini terdapat hierarki operasional:

  • 17 Tujuan (Goals): Ini adalah ambisi utamanya.
  • 169 Target: Ini adalah misi yang dapat ditindaklanjuti. Mereka membuat tujuan yang abstrak menjadi konkret (misalnya, Target 1.1: “Pada tahun 2030, mengentaskan kemiskinan ekstrem…”).
  • 231 Indikator Unik: Ini adalah metrik untuk mengukur kemajuan (misalnya, Indikator 1.1.1: “Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan internasional…”).

Hirarki 5P dan 17 Tujuan SDGs: Kerangka kerja 5P adalah cara tematik untuk mengelompokkan 17 Tujuan (Goals) ke dalam lima pilar fundamental.

  • People (Manusia)
    • Fokus: Mengakhiri kemiskinan dan kelaparan; memastikan martabat, kesetaraan, dan kesehatan.
    • Tujuan Terkait: SDG 1 (Tanpa Kemiskinan), SDG 2 (Tanpa Kelaparan), SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), SDG 5 (Kesetaraan Gender).
  • Planet (Bumi)
    • Fokus: Melindungi planet dari degradasi, mengelola sumber daya, dan menangani perubahan iklim.
    • Tujuan Terkait: SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim), SDG 14 (Ekosistem Lautan), SDG 15 (Ekosistem Daratan).
  • Prosperity (Kemakmuran)
    • Fokus: Memastikan semua dapat menikmati kehidupan yang makmur dan ekonomi inklusif yang selaras dengan alam.
    • Tujuan Terkait: SDG 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), SDG 10 (Mengurangi Kesenjangan), SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan).
  • Peace (Perdamaian)
    • Fokus: Membangun masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.
    • Tujuan Terkait: SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh).
  • Partnership (Kemitraan)
    • Fokus: Memobilisasi sarana (keuangan, teknologi, data) melalui kemitraan global.
    • Tujuan Terkait: SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).

Bagi komunitas riset, 231 indikator inilah yang menjadi “bahan baku”. Namun, pada tahun 2016, PBB menyadari masalah besar: untuk banyak indikator, kita tidak memiliki metodologi atau data yang mapan.

Mereka menciptakan “Sistem Tingkatan” (Tier System). Indikator Tier 1 memiliki data yang jelas. Tier 2 memiliki metodologi tetapi kekurangan data. Tier 3, yang paling menarik, adalah indikator di mana metodologinya belum ada.

Sistem Tier ini, secara tidak sengaja, menjadi agenda penelitian global yang paling mendesak. Ini adalah “daftar pekerjaan” publik bagi para ilmuwan, memicu perlombaan untuk menemukan cara-cara baru mengukur konsep-konsep kompleks (seperti “konsumsi bertanggung jawab” atau “kelembagaan yang kuat”). Dorongan untuk memindahkan indikator dari Tier 3 ke Tier 1 inilah yang meledakkan penggunaan big data, AI, dan data satelit dalam penelitian pembangunan.

Titik Balik 2023: Realitas Pahit di Era Polikrisis

Kemajuan yang stabil, meskipun lambat, yang terlihat dari 2015 hingga 2019 kini tampak seperti kenangan dari era yang berbeda. Saat dunia melewati titik tengah menuju 2030, serangkaian laporan diagnostik utama—terutama Laporan Pembangunan Berkelanjutan Global (GSDR) 2023 dan laporan Sekjen PBB 2024—menyampaikan vonis yang seragam dan brutal: kemajuan global telah mandek.

Laporan-laporan ini secara kuantitatif menunjukkan bahwa sejak tahun 2020, kurva kemajuan kolektif umat manusia telah mendatar. Kita tidak lagi hanya berisiko terlambat; kita secara aktif “sangat tidak berada di jalur” (severely off-track) untuk mencapai sebagian besar dari 17 tujuan pada tahun 2030.

Penyebab dari stagnasi dramatis ini bukanlah satu faktor tunggal, melainkan fenomena yang oleh para analis disebut sebagai “polikrisis”.

Ini bukan sekadar istilah baru untuk “banyak masalah”. Polikrisis menggambarkan situasi di mana berbagai krisis global—pandemi, konflik, dan iklim—terjadi secara bersamaan, saling berinteraksi, dan saling memperburuk, menciptakan dampak gabungan yang jauh lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya.

  1. Guncangan Pandemi (COVID-19): Pandemi adalah akselerator krisis pertama. Ia tidak hanya menyerang SDG 3 (Kesehatan), tetapi juga merobek kemajuan sosial dan ekonomi selama bertahun-tahun. Jutaan orang jatuh kembali ke dalam kemiskinan ekstrem (membalikkan kemajuan SDG 1), dan “kehilangan pembelajaran” (learning loss) akibat penutupan sekolah mengancam masa depan SDG 4 (Pendidikan) selama satu generasi.
  2. Guncangan Konflik: Seiring dengan meredanya pandemi, konflik geopolitik dan regional justru meningkat. Ini secara langsung menghancurkan SDG 16 (Perdamaian dan Keadilan), tetapi dampaknya merambat secara global. Konflik mengganggu rantai pasokan pangan dan energi, memperburuk inflasi, dan secara langsung berkontribusi pada kemunduran SDG 2 (Tanpa Kelaparan).
  3. Guncangan Iklim: Di atas semua itu, krisis iklim telah beralih dari ancaman masa depan menjadi kenyataan yang menghancurkan di masa kini. Rekor suhu global, kebakaran hutan yang masif, dan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya tidak hanya mengancam SDG 13 (Aksi Iklim), tetapi juga merusak infrastruktur (SDG 9), ketahanan pangan (SDG 2), dan permukiman (SDG 11).

Polikrisis ini menciptakan lingkaran setan: guncangan iklim memperburuk kelangkaan sumber daya, yang dapat memicu konflik. Sementara itu, pemerintah yang keuangannya terkuras oleh pandemi kini tidak memiliki ruang fiskal untuk merespons.

Ini membawa kita pada hambatan sistemik terbesar: “Kesenjangan Pendanaan” (The Financing Gap).

Laporan-laporan terbaru kini memperkirakan kesenjangan investasi tahunan untuk mencapai SDGs di negara-angka berkembang telah membengkak menjadi triliunan dolar. Angka ini begitu besar sehingga tidak lagi masuk akal. Ini bukan sekadar “kesenjangan”; ini adalah bukti kegagalan arsitektur keuangan global.

Negara-negara berkembang kini terjebak dalam perangkap utang. Banyak dari mereka menghabiskan lebih banyak anggaran untuk membayar bunga utang—seringkali diperburuk oleh guncangan iklim—daripada yang mereka alokasikan untuk kesehatan atau pendidikan. Ambisi Agenda 2030, yang dirancang di era pra-pandemi yang relatif stabil, kini berbenturan dengan kenyataan pahit keterbatasan sumber daya fiskal. Vonis pertengahan dekade ini jelas: tanpa reformasi mendasar pada sistem keuangan global, Agenda 2030 berisiko menjadi dokumen sejarah yang mulia namun gagal.

Batas-Batas Baru Penelitian: Respons Ilmiah terhadap Stagnasi

Kegagalan implementasi di tingkat global justru memicu gelombang inovasi di tingkat penelitian. Jika kita tidak bisa mencapai target, setidaknya kita harus memahaminya dengan lebih baik. Tiga “hotspot” penelitian kini mendominasi lanskap, beralih dari apa yang harus dicapai menjadi bagaimana kita bisa berakselerasi.

  1. AI, Big Data, dan Pemantauan Satelit: Tantangan 169 target tidak mungkin dipantau secara efektif hanya dengan survei nasional dan sensus, yang lambat dan mahal. Di sinilah letak revolusi data. Para peneliti kini beralih secara masif ke Kecerdasan Buatan (AI), machine learning, dan data satelit untuk mengisi kesenjangan data (terutama Indikator Tier 2 dan 3). Contoh konkretnya termasuk penggunaan citra satelit malam hari untuk memetakan kemiskinan (SDG 1) dan akses listrik (SDG 7) dengan resolusi tinggi, atau menggunakan AI untuk menganalisis data teks dari laporan perusahaan untuk mengukur kontribusi nyata mereka terhadap konsumsi bertanggung jawab (SDG 12).
  2. “Transisi yang Berkeadilan” (Just Transitions): Ini mungkin area penelitian yang paling penting secara analitis. Desakan untuk Aksi Iklim (SDG 13) seringkali berbenturan langsung (trade-off) dengan SDG 8 (Pekerjaan Layak) dan SDG 10 (Mengurangi Kesenjangan). Penelitian “Transisi yang Berkeadilan” adalah upaya ilmiah untuk menyelesaikan paradoks ini. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus beralih ke ekonomi hijau, tetapi bagaimana kita beralih ke ekonomi hijau tanpa mengorbankan mata pencaharian pekerja di sektor karbon (misalnya, batu bara) dan memperburuk ketidaksetaraan. Ini adalah aplikasi praktis dari prinsip “Integrasi” SDGs.
  3. Lokalisasi dan VLRs (Voluntary Local Reviews): Ketika aksi di tingkat global dan nasional mandek akibat polikrisis dan politik, fokus penelitian bergeser ke tempat di mana aksi nyata terjadi: kota. Penelitian kini tidak lagi hanya melihat laporan nasional (VNRs). Tren terbaru adalah menganalisis “Tinjauan Lokal Sukarela” (VLRs), di mana kota-kota—seperti Jakarta dan Surabaya—melaporkan kemajuan SDGs mereka sendiri. Kota menjadi “laboratorium” inovasi tata kelola, karena di tingkat inilah masalah-masalah yang terintegrasi (perumahan, transportasi, kesehatan, lapangan kerja) harus diselesaikan secara sistemik.

Transformasi Lanskap Penelitian: Dari Silo ke Sistem

Dampak terbesar dari Agenda 2030 mungkin bukanlah pada pembangunan global, tetapi pada komunitas ilmiah itu sendiri. Agenda ini secara fundamental telah mengubah apa artinya menjadi seorang peneliti pembangunan. Pergeseran ini terjadi dalam tiga sumbu utama:

  1. Dari Deskriptif ke Preskriptif (Peran Baru): Dulu, di era MDGs, penelitian sebagian besar bersifat deskriptif—berperan sebagai “pencatat skor” yang memantau kemajuan (atau ketiadaannya). Sekarang, di tengah polikrisis, dunia tidak lagi membutuhkan laporan yang hanya berkata “kita gagal”. Ada tuntutan besar agar penelitian bersifat preskriptif dan berorientasi pada solusi. Peneliti tidak bisa lagi hanya menjadi pengamat; mereka didorong untuk menjadi arsitek solusi, yang mampu menjawab, “Inilah 3 intervensi kebijakan berbasis bukti untuk mengejar ketertinggalan di Sektor X.”
  2. Dari Silo ke Sistem (Metode Baru): Prinsip “Integrasi” SDGs telah memaksa runtuhnya silo-silo akademis. Seorang peneliti tidak bisa lagi hanya menjadi “pakar SDG 4 (Pendidikan)”. Untuk memecahkan masalah pendidikan, mereka harus berkolaborasi dengan pakar kesehatan (SDG 3) untuk gizi anak, pakar infrastruktur (SDG 9) untuk akses internet, dan pakar kesenjangan (SDG 10) untuk keadilan sosial. Ini mendorong lahirnya tim riset transdisipliner dan penggunaan pemikiran sistemik (systems modeling) untuk memetakan keterkaitan yang kompleks, bukan lagi menganalisis variabel secara terisolasi.
  3. Dari Statistik ke Sains Data (Keterampilan Baru): Profil peneliti SDGs yang efektif telah berevolusi. Keterampilan statistik tradisional tidak lagi cukup. Peneliti modern kini dituntut memiliki keahlian hibrida: keahlian teknis dalam data science, machine learning, dan penginderaan jauh (untuk menangani hotspot penelitian AI/Big Data) sekaligus keterampilan sosial dalam metode partisipatif (untuk bekerja langsung dengan komunitas dalam penelitian “Transisi yang Berkeadilan” dan “Lokalisasi”).

Penutup: Sebuah Warisan di Luar Target

Agenda 2030, dalam bentuk target-targetnya, kemungkinan besar akan dikenang sebagai ambisi yang gagal kita capai tepat waktu pada tahun 2030. Laporan-laporan pertengahan dekade telah memperjelas hal itu.

Namun, warisan abadi dari eksperimen kolektif ini adalah bahwa ia memaksa umat manusia—terutama komunitas ilmiah dan para pembuat kebijakannya—untuk meruntuhkan silo-silo lama dan membangun cara berpikir yang baru. Dalam kegagalan kita untuk mencapai target, kita mungkin secara tidak sengaja telah menciptakan alat dan metode kolaboratif yang pada akhirnya akan memberi kita kapasitas untuk mengelola masa depan yang kompleks.

Lalu, apa rekomendasi terpenting bagi kita yang menyikapi realitas ini?

Vonis dari polikrisis ini jelas: cara berpikir linear dan terkotak-kotak (siloed) telah usang. Kita tidak bisa lagi memisahkan masalah iklim dari masalah ekonomi, atau masalah kesehatan dari masalah keadilan sosial.

Nilai terbesar yang bisa kita ambil dari analisis Agenda 2030 bukanlah menghafal 17 tujuannya, melainkan mengadopsi cara pandang baru yang dituntutnya. Baik Anda seorang pemimpin bisnis, perencana kota, mahasiswa, atau profesional, rekomendasi praktisnya adalah: Mulailah berpikir dalam sistem.

Tanyakan pertanyaan yang melintasi batas-batas silo: “Bagaimana keputusan di departemen saya memengaruhi target departemen lain?” “Bagaimana model bisnis kita berdampak pada komunitas lokal dan jejak karbon kita secara bersamaan?” “Bagaimana kita bisa menyelesaikan trade-off antara pertumbuhan (SDG 8) dan keadilan (SDG 10)?”

Kegagalan sesungguhnya bukanlah jika kita melewatkan target 2030. Kegagalan sesungguhnya adalah jika kita menghadapi polikrisis dan kemandekan ini, namun menolak untuk belajar dan mengubah cara kita berpikir dan bekerja.

Agenda 2030 telah berfungsi sebagai akselerator evolusi bagi sains itu sendiri, sebuah proses yang dampaknya akan jauh melampaui tahun 2030.


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *