Saya sering merenung saat menatap layar laptop yang penuh dengan notifikasi webinar, undangan Zoom, dan tawaran kursus online yang menjanjikan keahlian instan. Di era ini, akses kita terhadap ilmu pengetahuan begitu melimpah ruah, seolah-olah kita sedang berdiri di bawah air terjun informasi yang tak pernah kering. Hanya dengan satu klik, kita bisa belajar coding dari Silicon Valley, manajemen dari Harvard, hingga filsafat dari Eropa.
Namun, di balik kemudahan dan kecepatan ini, pernahkah kita merasa ada yang hilang? Sebuah kedalaman rasa yang mungkin dulu dimiliki oleh leluhur kita, namun kini terkikis oleh derasnya arus zaman. Kita menjadi pintar dengan sangat cepat, tetapi apakah kita menjadi lebih bijaksana?
Jika kita menarik garis waktu jauh ke belakang—mencoba membedah sejarah nusantara dari kacamata Big History—kita akan menemukan bahwa cara belajar kita hari ini bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Ia adalah sebuah palimpsest—sebuah naskah kuno yang ditulis ulang berkali-kali. Di balik layar gadget kita, tersembunyi lapisan sejarah: keheningan padepokan kuno, ketakutan birokratis masa kolonial, disiplin fisik ala militer Jepang, hingga formalitas kaku Orde Baru.
Memahami sejarah ini bukan sekadar romantisme masa lalu. Ini adalah upaya forensik untuk menjawab pertanyaan besar: Mengapa budaya kerja kita penuh basa-basi? Mengapa kita takut berinovasi? Dan mengapa tumpukan sertifikat sering kali tidak berbanding lurus dengan kinerja?
1. Akar Tradisi Nyantrik: Ketika Belajar Adalah Proses “Menjadi”
Jauh sebelum kurikulum Barat datang dengan bel sekolah dan pembagian mata pelajaran yang kaku, nenek moyang kita telah mempraktikkan sistem pendidikan yang menyatu dengan napas kehidupan, dikenal sebagai “Nyantrik” atau “Suwita”.
Ini adalah antitesis mutlak dari budaya belajar modern yang serba instan. Dalam tradisi Nyantrik, tidak ada silabus tertulis, tidak ada jam masuk pukul 8 pagi dan pulang pukul 4 sore. Seorang murid menyerahkan hidupnya secara total kepada sang Guru (Empu atau Kiai). Ia tinggal di rumah sang Guru, memakan nasi dari dapur yang sama, dan tidur di bawah atap yang sama selama bertahun-tahun.
Mari kita bayangkan proses pembuatan keris di masa lalu. Seorang calon Empu tidak serta-merta diizinkan memegang palu tempa di tahun pertamanya. Fase awalnya adalah ujian mental: menyapu pelataran, menimba air, membelah kayu, atau sekadar menjaga nyala api tungku. Bagi kacamata modern yang pragmatis, ini terlihat sebagai eksploitasi tenaga kerja atau pemborosan waktu yang tidak efisien. “Kapan belajarnya?” tanya manusia modern.
Namun, bagi leluhur kita, itulah kurikulum intinya. Mereka percaya bahwa ilmu tanpa wadah jiwa yang kuat akan mencelakakan. Filosofinya mendalam: Bagaimana mungkin seseorang bisa dipercaya menempa besi panas yang mematikan jika ia belum mampu menaklukkan api amarah dan ketidaksabaran di dalam dirinya sendiri?
Di sinilah letak kejeniusan sistem asli Nusantara. Kompetensi teknis hanyalah perpanjangan dari kualitas karakter. Berbeda dengan pelatihan modern yang sering memisahkan “Hard Skill Training” dan “Soft Skill Seminar” di ruang terpisah, sistem Nyantrik melebur keduanya. Hasilnya bukan sekadar “pekerja” yang terampil, melainkan “Manusia”—seorang maestro yang memiliki adab setinggi ilmunya.
2. Warisan Kolonial: Lahirnya Ketakutan dan Mentalitas “Sekrup”
Kedamaian dan filosofi luhur padepokan itu terguncang hebat ketika mesin kolonialisme mulai menderu. Pemerintah Hindia Belanda membawa paradigma pendidikan yang sepenuhnya utilitarian. Jika ‘Nyantrik’ bertujuan memuliakan manusia, pendidikan kolonial bertujuan memfungsikan manusia sebagai sekrup mesin ekonomi.
Belanda mendirikan Ambachtsschool (Sekolah Pertukangan) dan sekolah Klerk (Juru Tulis). Tujuannya bukan untuk mencetak inovator atau pemikir kritis yang bisa menyaingi Eropa, melainkan untuk menghasilkan tenaga kerja murah yang cukup terampil untuk memutar roda pabrik gula dan mengurus administrasi perkebunan, namun cukup patuh untuk tidak banyak bertanya.
Di sinilah tragedi budaya itu bermula. Sistem ini menanamkan kasta sosial yang tajam dalam psikologi kerja kita:
- Kasta “Kuli”: Pekerjaan teknis yang berkeringat, beroli, dan kasar dianggap sebagai kelas dua.
- Kasta “Priyayi”: Pekerjaan administratif, duduk di belakang meja, dan memakai baju bersih dianggap sebagai puncak kesuksesan.
Warisan ini menciptakan ketakutan purba terhadap kesalahan. Dalam sistem kolonial, inisiatif di luar SOP (Prosedur Standar) dihukum. Akibatnya, bangsa kita belajar untuk “bermain aman”. Kita menjadi ahli dalam mengikuti petunjuk, tapi gagap saat diminta menciptakan jalan baru.
Mentalitas ini masih menghantui ruang rapat korporasi kita hari ini. Kita sering melihat jurang pemisah: manajemen yang merancang strategi di menara gading tanpa paham lapangan, dan orang operasional yang hanya menunggu perintah layaknya robot. Inilah akar dari matinya inovasi di banyak organisasi tua di Indonesia.
3. Intermezzo Jepang: Taiso dan Obsesi pada Kebersamaan Fisik
Sering luput dari sorotan, masa pendudukan Jepang (1942-1945) yang singkat namun brutal memberikan “warna” yang sangat awet pada cara kita mendidik pegawai. Jika Belanda mewariskan mentalitas hierarki, Jepang mewariskan mobilisasi massa dan disiplin fisik.
Di era ini, individualisme dilarang. Setiap pagi, warga, siswa, dan pegawai wajib melakukan Taiso (senam pagi radio) secara massal. Pelatihan kerja dalam wadah Seinendan atau Romusha dilakukan dengan gaya militer yang keras. Tujuannya bukan kecerdasan intelektual, melainkan pembentukan tubuh yang patuh dan esprit de corps (jiwa korsa) yang fanatik.
Pernahkah Anda bertanya mengapa instansi pemerintah atau BUMN kita gemar sekali mengadakan “Apel Pagi”, baris-berbaris, atau mewajibkan senam bersama di hari Jumat? Itu adalah residu sejarah dari Taiso Jepang.
Secara tidak sadar, kita mewarisi keyakinan bahwa kekompakan tim dibangun melalui gerakan fisik yang seragam, bukan melalui penyelarasan visi atau debat intelektual. Kita merasa tim sudah “solid” jika sudah memakai seragam yang sama dan senam bersama, padahal secara pemikiran mungkin masih terpecah belah. Ini menciptakan budaya pelatihan yang mementingkan “seremonial” dan “kulit luar”, namun sering kali kosong secara substansi.
4. Rezim Pusdiklat: Birokrasi, Asrama, dan Budaya “Plesiran”
Setelah kemerdekaan, terutama di era Orde Baru, warisan-warisan ini melebur menjadi satu entitas unik: Pusdiklat (Pusat Pendidikan dan Pelatihan).
Negara membangun gedung-gedung Pusdiklat yang megah dengan konsep asrama. Ada hierarki kaku ala Belanda, dan ada disiplin fisik/apel pagi ala Jepang. Namun, di balik tembok asrama yang tampak disiplin itu, tumbuh anomali budaya yang menggelitik: Budaya “Plesiran”.
Di masa ini, pelatihan bertransformasi menjadi “hadiah”. Dikirim diklat ke Jakarta atau Puncak bukan dilihat sebagai strategi perbaikan kinerja karena kompetensi yang kurang, melainkan sebagai reward atau liburan bagi pegawai senior.
Kriteria pengiriman peserta menjadi kabur. Bukan berdasarkan Training Need Analysis (siapa butuh ilmu apa), melainkan urutan kacang: “Tahun lalu Bapak A sudah, sekarang giliran Bapak B yang belum pernah naik pesawat.”
Akibatnya, motivasi belajar menjadi bias. Peserta datang bukan dengan dahaga ilmu, melainkan untuk menikmati uang saku perjalanan dinas, reuni dengan teman lama, dan mengejar selembar sertifikat. Sertifikat menjadi komoditas administrasi—hanya syarat untuk kenaikan pangkat, bukan bukti keahlian. Inilah era “inflasi sertifikat”, di mana secara data kita punya jutaan orang tersertifikasi, namun secara realita produktivitas nasional stagnan.
5. Era Reformasi: Mimpi Kompetensi dan Jebakan “Kertas”
Ketika badai krisis 1998 meruntuhkan ekonomi, kita tersadar bahwa ijazah formal dan tumpukan sertifikat lama ternyata tidak menjamin kita bisa bersaing. Sebagai respons, lahirlah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Ini adalah upaya revolusioner untuk beralih dari pengakuan berbasis “lama sekolah” (Time-Based) menuju “kemampuan nyata” (Competency-Based). Filosofinya radikal: Tak peduli Anda lulusan universitas ternama atau hanya lulusan jalanan, jika Anda kompeten, Anda diakui.
Namun, niat mulia ini kembali bertabrakan dengan pragmatisme budaya kita. Alih-alih menjadi ajang pembuktian keahlian (mastery), sertifikasi tergelincir menjadi “Jebakan Kertas” baru. Orang berbondong-bondong uji kompetensi hanya untuk menambah tebal portofolio atau memenuhi syarat tender proyek.
Masalah klasik link and match tetap menganga lebar. Kita sibuk menstandarisasi kompetensi masa lalu, sementara industri berlari kencang menuju masa depan yang belum ada di kamus kompetensi manapun. Kita terjebak dalam formalitas administratif, sementara dunia menuntut adaptabilitas nyata.
6. Paradoks Digital: Algoritma Menggantikan Empu dan Ilusi Pengetahuan
Kini, kita tiba di masa kini. Era di mana Corporate University megah berdiri, bukan lagi sebagai gedung fisik, melainkan sebagai platform digital dengan sistem berbasis AI dan Learning Management System (LMS). Kita punya akses ke jutaan konten belajar layaknya menu buffet yang tak terbatas.
Namun, di era ini, kita menghadapi krisis eksistensial baru: Hilangnya Sosok Guru dan Ilusi Kompetensi.
Dalam tradisi Nyantrik, guru adalah kompas moral yang mengoreksi tidak hanya skill, tapi juga ego kita. Hari ini, guru kita adalah algoritma yang dingin. Kita menjadi Lonely Learner—belajar sendirian di depan layar, tanpa bimbingan emosional, tanpa interaksi manusiawi. Kita menonton video tutorial 5 menit dan merasa sudah “bisa”, padahal kita baru sekadar “tahu”. Terjadi dangkalnya pemahaman (illusion of competence).
Selain itu, benturan budaya semakin keras:
- Teknologi Agile vs Budaya Ewuh Pakewuh: Teknologi menuntut kita bergerak cepat, gagal cepat (fail fast), dan memberi umpan balik jujur (brutal honesty). Namun, budaya kita mengajarkan kesantunan berlebihan. Atasan “tidak tega” mengkritik bawahan, bawahan malu bertanya karena takut dianggap bodoh. Sesi coaching digital berubah menjadi basa-basi yang sopan tapi tidak berdampak.
- Mitos Pemerataan: Program digital seperti Kartu Prakerja memang mendemokratisasi akses. Namun, di lapangan, kesenjangan sinyal antara Jawa dan luar Jawa membuat “pemerataan pintar” ini masih menjadi mimpi yang tertatih-tatih.
Penutup: Menjahit Masa Lalu untuk Memenangkan Masa Depan
Lalu, ke mana arah evolusi belajar manusia Indonesia selanjutnya? Apakah kita harus membuang tradisi demi mengejar modernitas? Atau kita harus menolak teknologi demi menjaga tradisi?
Jawabannya bukan salah satu, melainkan sintesis (penggabungan).
Kekuatan bangsa kita justru ada pada kemampuan beradaptasi. Kita perlu mengadopsi kecepatan dan presisi teknologi digital, namun di saat yang sama, kita perlu memanggil kembali jiwa “Nyantrik” leluhur kita.
Kita butuh teknologi untuk efisiensi, tapi kita butuh filosofi Nyantrik untuk kedalaman. Belajar tidak boleh berhenti pada penguasaan tools atau aplikasi terbaru. Belajar harus kembali menyentuh aspek karakter, ketahanan mental, dan etika.
Tugas kita sekarang adalah bertransformasi menjadi “Empu Digital”. Seorang Empu Digital adalah manusia yang menguasai teknologi tinggi (AI, Big Data, Coding), namun tetap memiliki kerendahan hati untuk terus belajar, keberanian untuk berinovasi, dan kebijaksanaan untuk menjaga adab.
Mari kita berhenti memandang belajar sebagai beban administrasi, sekadar mengejar sertifikat, atau jalan pintas naik pangkat. Jadikan belajar sebagai laku hidup, sebuah perjalanan spiritual untuk memberdayakan diri dan lingkungan. Karena pada akhirnya, di tengah gempuran AI, karakter adalah satu-satunya benteng pertahanan manusia yang tak bisa ditiru oleh algoritma manapun.









