Saya tahu apa yang mungkin Anda rasakan setelah membaca analisis kita sejauh ini. Mungkin terasa berat. Kita berhadapan dengan anak muda yang sulit mendapat kerja, 90% dari kita bekerja tanpa jaminan pensiun, dan negara kita terancam “menjadi tua sebelum menjadi kaya” dalam skenario “Jebakan Pendapatan Menengah”.
Rasanya seperti sebuah takdir yang suram.
Tapi saya di sini untuk mengatakan: Ini bukan takdir. Ini adalah pilihan.
Semua masalah yang kita hadapi—kegagalan sistemik SMK, sistem pensiun yang berlubang, jebakan pendapatan menengah—adalah hasil dari pilihan kebijakan yang kita ambil di masa lalu. Dan karena itu adalah pilihan, kita bisa membuat pilihan baru yang lebih baik, hari ini.
Kita tidak bisa menyelesaikan masalah abad ke-21 dengan solusi abad ke-20. Kita tidak bisa lagi bekerja dalam silo (kementerian pendidikan urus sekolah, kementerian sosial urus lansia). Kita butuh satu Solusi Demografi Indonesia yang terintegrasi dan radikal.
Setelah membedah masalahnya, saya melihat ada tiga pilar solusi yang harus kita jalankan serentak.
Pilar 1: Balikkan Logika (Hentikan “Proyek Sekolah”, Mulai “Subsidi Industri”)
Kita sudah lihat kegagalan kebijakan kita pada angkatan kerja muda. Kita menghabiskan triliunan untuk program “Revitalisasi SMK”, tapi hasilnya adalah paradoks: data BPS 2025 menunjukkan TPT lulusan SMK sebesar 8,00%, tertinggi dari semua jenjang pendidikan.
Masalahnya jelas: Kita fokus di supply (membangun sekolah, memperbaiki kurikulum). Kita berasumsi industri akan otomatis menyerap lulusan. Realitasnya, 59,40% pekerja kita terserap ke sektor informal yang tidak produktif.
Solusinya: Kita harus membalik logikanya 180 derajat. Pindahkan fokus dari supply ke demand.
Alihkan anggaran revitalisasi fisik SMK yang terbukti gagal itu. Gunakan uangnya untuk mensubsidi industri (perusahaan) agar mau mengambil alih fungsi pelatihan. Ini bukan sekadar menggeser anggaran; ini mengubah filosofi.
Bentuknya bisa “Prakerja Sektor Riil” atau skema magang terstruktur yang dibayar negara dan dijamin penyerapan oleh industri. Kita harus berhenti terobsesi dengan “proyek” dan “gedung”. Kita harus terobsesi dengan “penyerapan tenaga kerja”.
Ini adalah perubahan radikal: Kita berhenti membayar untuk “membangun gedung”, kita mulai membayar untuk “hasil” (lulusan yang diterima kerja). Biarkan industri yang melatih, karena merekalah yang paling tahu apa yang mereka butuhkan. Ini adalah satu-satunya cara menjawab kegagalan penyerapan angkatan kerja muda kita.
Pilar 2: Terima Kenyataan (Pensiun Pajak untuk 90%, Bukan Iuran 10%)
Kita sudah lihat paradoks pensiun. Kebijakan kita sibuk membahas “kenaikan usia pensiun formal”, sebuah proposal yang hanya relevan untuk 10,34% pekerja formal kita yang beruntung.
Masalahnya: Proposal itu adalah penghinaan bagi 90% sisanya. Kita terjebak dalam ilusi bahwa sistem iuran formal bisa “diperluas” untuk menjangkau semua orang, padahal kita mengabaikan 85,25% lansia kita yang terpaksa bekerja di sektor informal untuk bertahan hidup.
Solusinya: Kita harus menerima kenyataan dominasi informalitas di Indonesia.
Presiden harus segera membentuk tim untuk merancang “Pensiun Sosial (Pilar Nol)”. Ini adalah skema pensiun non-iuran yang didanai murni dari pajak (APBN), yang memberikan jaminan pendapatan dasar bagi semua lansia (misalnya, di atas usia 70 tahun) yang berada di bawah ambang batas tertentu.
Ini adalah keniscayaan. Ini adalah jaring pengaman sosial paling logis untuk mencegah 90% angkatan kerja kita jatuh dalam kemiskinan absolut di hari tua. Ini adalah satu-satunya cara kita menghentikan “jebakan informalitas seumur hidup” yang kita lihat di data.
Pilar 3: Ciptakan “Pakta Fiskal” (Menjawab Efek Gunting Fiskal)
Kita sudah lihat risiko gunting fiskal. Kita terjepit antara mata pisau ‘investasi masa depan’ (Pilar 1) dan mata pisau ‘kewajiban masa lalu’ (Pilar 2). Pertanyaannya: Uangnya dari mana?
Solusinya: Kita ciptakan sebuah “Pakta Fiskal Antar-Generasi” yang cerdas, yang secara eksplisit menghubungkan kedua pilar tadi.
Langkah A: Gunakan APBN secara agresif untuk memberi insentif pajak besar-besaran bagi perusahaan yang mau memformalkan pekerja informal mereka (mendaftarkan ke BPJS, memberi upah layak, dll).
Ini secara langsung mengatasi masalah “kelas menengah yang menyusut” (shrinking middle class) yang kita bahas. Kita tidak hanya menciptakan ‘pekerja’, kita menciptakan ‘pembayar pajak’ baru.
Langkah B: Alokasikan secara khusus (earmark) sebagian dari tambahan penerimaan pajak baru (yang didapat dari Langkah A) untuk mendanai skema “Pensiun Sosial” (yang dibuat di Pilar 2).
Lihat betapa indahnya siklus ini?
Kita berinvestasi di anak muda (Pilar 1) -> memicu formalisasi dan menciptakan pembayar pajak baru (Pilar 3A) -> pajak baru itu digunakan untuk mendanai keamanan hari tua generasi sebelumnya (Pilar 3B).
Ini adalah sebuah pakta. Ini adalah mesin fiskal yang berkelanjutan. Sukses di Pilar 1 (investasi anak muda) secara langsung mendanai keamanan di Pilar 2 (jaminan orang tua). Ini adalah jawaban logis untuk “Efek Gunting Fiskal”.
Ini Pilihan Kita
Saya tidak bilang tiga pilar ini mudah. Ini mahal. Ini butuh kemauan politik yang luar biasa besar untuk melawan status quo dan model bisnis “proyek” yang sudah nyaman.
Tapi alternatifnya—yaitu tidak melakukan apa-apa, melanjutkan kebijakan yang sama, dan membiarkan kita menjadi tua sebelum kaya—jauh, jauh lebih mahal. Itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap janji Indonesia Emas 2045.
Data sudah jelas. Alarm sudah berbunyi.
Masa depan tidak datang begitu saja. Masa depan harus kita ciptakan. Dan kita harus memulainya sekarang.










