Selama puluhan ribu tahun, Homo sapiens bertahan hidup bukan karena kita yang terkuat atau tercepat. Kita bertahan hidup karena kita adalah primata sosial yang tak tertandingi. Kemampuan kita untuk membentuk ikatan, membangun suku, dan percaya pada cerita yang sama adalah senjata rahasia kita. Kebutuhan akan “rasa memiliki” (belonging) tertanam dalam DNA psikologis kita. Tanpanya, nenek moyang kita akan mati.
Sekarang, lompat cepat ke abad ke-21. Secara teoretis, kita adalah generasi yang paling terhubung dalam sejarah manusia. Kita membawa seluruh “suku” kita di dalam saku. Namun, sebuah paradoks besar sedang terjadi. Di tengah keriuhan digital ini, sebuah “epidemi kesepian” menyebar secara global. Laporan dari berbagai lembaga kesehatan masyarakat—termasuk Surgeon General AS pada tahun 2023—telah membunyikan alarm.
Apa yang membuat peringatan ini begitu mendesak bukanlah sekadar perasaan sedih kolektif. Di sinilah letak pergeseran seismik dalam pemahaman kita tentang manusia. Selama ini, kita memperlakukan kesepian sebagai masalah “lunak”—masalah emosional, psikologis, sesuatu yang disayangkan tetapi tidak esensial.
Data kuantitatif yang dingin membantah semua asumsi itu.
Penelitian terobosan, seperti meta-analisis besar-besaran yang dipelopori oleh Julianne Holt-Lunstad, telah secara efektif membingkai ulang “rasa memiliki” dari sekadar keinginan psikologis yang nyaman menjadi kebutuhan biologis yang fundamental.
Data tersebut menemukan bahwa isolasi sosial kronis memiliki dampak terhadap mortalitas (risiko kematian) yang setara dengan merokok hingga 15 batang rokok per hari.
Mari kita berhenti dan meresapi fakta itu. Kita menghabiskan triliunan rupiah secara global untuk memerangi dampak tembakau. Kita melarang iklan rokok, menempelkan gambar mengerikan di bungkusnya, dan memberlakukan pajak yang tinggi. Namun, ada kondisi lain yang sama mematikannya, menyebar tanpa regulasi di tengah masyarakat kita: isolasi.
Lebih jauh lagi, data tersebut menunjukkan bahwa risiko kematian akibat kesepian dan isolasi sosial ini ternyata lebih besar daripada faktor risiko yang selama ini kita takuti, seperti obesitas dan kurangnya aktivitas fisik. Kita terobsesi dengan diet, aplikasi kebugaran, dan menghitung langkah, sementara kita mungkin mengabaikan faktor risiko yang jauh lebih mematikan yang menggerogoti kita secara diam-diam.
Ini bukan sekadar metafora. Dampaknya bersifat fisiologis. Ketika otak manusia merasakan isolasi, ia menafsirkannya sebagai ancaman eksistensial—sama seperti nenek moyang kita yang terpisah dari sukunya akan menjadi mangsa empuk predator. Tubuh merespons dengan memicu respons stres kronis. Ini berarti peningkatan peradangan, sistem kekebalan tubuh yang terganggu, dan kerusakan kardiovaskular dari waktu ke waktu. Kesepian, secara harfiah, merusak tubuh kita dari dalam.
Ini adalah pergeseran paradigma total. Ini mengubah kesepian dari masalah pribadi yang memalukan (“saya tidak punya teman”) menjadi krisis kesehatan masyarakat yang mendesak (“infrastruktur sosial kita gagal”). “Rasa memiliki” bukanlah kemewahan. Itu adalah kebutuhan biologis, sama pentingnya dengan udara bersih dan air minum.
Bagaimana ini bisa terjadi? Jawabannya tidak sederhana. Ini bukan kegagalan individu. Ini adalah kegagalan struktural. Mesin-mesin yang kita bangun untuk menghubungkan kita—platform digital dan struktur sosial modern—secara fundamental tidak selaras dengan kebutuhan psikologis kuno kita. Kita sedang menghadapi krisis identitas dan rasa memiliki secara bersamaan.
Runtuhnya “Tempat Ketiga”
Untuk waktu yang lama, masyarakat manusia memiliki apa yang oleh para sosiolog disebut sebagai “Tempat Ketiga”. Ini bukan rumah (tempat pertama) atau pekerjaan (tempat kedua). Ini adalah ruang-ruang publik yang netral: kedai kopi, taman, perpustakaan, alun-alun, atau bahkan pangkas rambut.
Tempat ketiga adalah perekat sosial. Di sinilah kita secara tidak sengaja bertemu dengan orang-orang yang berbeda dari kita, melakukan percakapan ringan, dan merasakan denyut nadi komunitas.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, tempat-tempat ini terkikis. Perencanaan kota yang berfokus pada mobil, perluasan pinggiran kota, dan kini, revolusi digital, telah membunuh mereka secara perlahan. Kekosongan sosial ini kemudian diisi oleh pengganti yang tampak serupa: media sosial.
Masalahnya, media sosial bukanlah “Tempat Ketiga” yang netral. Itu adalah “Tempat Komersial”. Arsitekturnya tidak dirancang untuk koneksi otentik, tetapi untuk “keterlibatan” (engagement) yang adiktif. Ini adalah arsitektur yang secara paradoksal mengeksploitasi kebutuhan kita untuk memiliki, namun gagal memenuhinya secara memuaskan.
Identitas sebagai Performa
Seiring dengan runtuhnya ruang fisik, cara kita membangun identitas pun berubah. Secara historis, identitas Anda sebagian besar “diberikan”: Anda adalah putra seorang pandai besi, dari desa A, menganut agama B.
Era modern, yang dipercepat oleh budaya individualisme, mengubahnya. Identitas bukan lagi sesuatu yang diberikan, tetapi sesuatu yang harus Anda “bangun” dan “temukan”. Psikolog seperti Erik Erikson menyebut ini sebagai tugas utama manusia.
Lalu, datanglah media sosial, yang mengubah pencarian identitas ini menjadi sebuah pertunjukan publik.
Kita semua telah menjadi arsitek, kurator, dan pemasar dari “diri virtual” kita. Kita memoles foto, menyusun kata-kata, dan mengelola citra diri ideal yang dirancang untuk mengumpulkan validasi (dalam bentuk ‘likes’ dan pengikut). Ini menciptakan ketegangan psikologis yang luar biasa antara “diri yang terkurasi” dan “diri yang otentik”.
Platform digital sering kali menjebak kita dalam dua kondisi yang tidak sehat. Pertama, “moratorium” tanpa akhir: kelimpahan pilihan membuat kita terus-menerus “menjelajahi” siapa kita tanpa pernah berani “berkomitmen” pada satu identitas. Kedua, “foreclosure” algoritmik: ruang gema menyodorkan identitas (politik, sosial, atau gaya hidup) yang siap pakai, yang kita adopsi tanpa eksplorasi kritis.
Dari Kesepian Menjadi Perang Suku: Politik sebagai “Identitas-Mega”
Apa yang terjadi ketika jutaan orang merasa terisolasi secara sosial (anomie), bingung akan identitas mereka, dan secara biologis putus asa untuk memiliki rasa memiliki?
Mereka tidak beralih ke debat kebijakan yang rasional. Mereka mencari suku. Dan arena politik modern, yang dipercepat oleh media digital, dengan senang hati menyediakannya.
Inilah akar psikologis dari polarisasi ekstrem dan “tribalisme baru” yang kita saksikan. Ini menjelaskan mengapa politik tidak lagi terasa seperti perdebatan—ia terasa seperti perang.
Ilmuwan politik seperti Lilliana Mason telah memberikan diagnosis yang tajam untuk fenomena ini. Analisisnya menunjukkan bahwa selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi proses yang disebut “social sorting” (pemilahan sosial).
Secara historis, identitas Anda tersebar. Anda bisa saja seorang Kristen konservatif yang pro-serikat pekerja (secara ekonomi kiri), atau seorang profesor ateis di kota besar yang memilih partai kanan karena kebijakan fiskal. Identitas Anda tumpang tindih dan kompleks.
“Pemilahan sosial” adalah proses di mana semua identitas non-politik ini—ras, agama, geografi, bahkan tim olahraga atau kopi yang Anda minum—secara perlahan “disortir” dan diselaraskan ke dalam dua kubu politik utama. Partai A menjadi partai orang kota, sekuler, dan berpendidikan universitas. Partai B menjadi partai orang pedesaan, religius, dan non-universitas.
Hasilnya adalah partisan (keanggotaan partai) berhenti menjadi sekadar “preferensi kebijakan”. Ia telah menyerap dan menyatu dengan semua identitas sosial lainnya. Ia telah menjadi apa yang disebut Mason sebagai “identitas-mega”.
Menjadi seorang “Republikan” atau “Demokrat” (atau padanan lokalnya) kini bukan lagi berarti Anda lebih suka pajak 25% daripada 30%. Itu adalah label ringkas yang mewakili “kelompok agama kita, kelompok ras kita, dan budaya kita.”
Inilah mengapa politik modern terasa begitu personal dan intens. Ini adalah penerapan langsung dari Teori Identitas Sosial: harga diri kita terikat pada status kelompok kita.
Ketika “identitas-mega” Anda terancam—misalnya, melalui pemilu yang kalah, atau kritik di media—itu tidak lagi dirasakan sebagai kemunduran kebijakan yang rasional. Itu dirasakan sebagai serangan eksistensial ‘kita vs mereka’ yang mengancam harga diri dan konsep diri Anda. Jika kelompok “kita” kalah, “saya” merasa terhina.
Dalam kondisi ini, kompromi politik menjadi tidak mungkin secara psikologis. Berkompromi dengan “mereka” tidak terasa seperti menemukan jalan tengah; itu terasa seperti pengkhianatan eksistensial terhadap suku Anda, dan terhadap diri Anda sendiri.
Ruang gema algoritmik di media sosial kemudian bertindak sebagai bensin murni untuk api ini. Algoritma tidak tertarik pada kebenaran atau kompromi; mereka tertarik pada keterlibatan. Dan tidak ada yang lebih menarik selain perasaan benar secara moral dan ancaman dari “musuh”. Platform-platform ini terus-menerus meyakinkan kita bahwa kelompok “kita” benar dan mulia, sementara kelompok “mereka” bodoh, jahat, dan merupakan ancaman eksistensial.
Pemberontakan Sunyi di Tempat Kerja: Penolakan Identitas
Krisis ini juga tumpah ke arena terakhir di mana identitas modern ditempa: tempat kerja. Selama beberapa generasi, jawaban atas pertanyaan “Siapa Anda?” sering kali adalah jabatan pekerjaan Anda. Pekerjaan adalah “tempat kedua” (setelah rumah) yang menjadi identitas sentral.
Namun, sesuatu telah retak. Fenomena viral “quiet quitting” (bekerja sewajarnya) telah disalahpahami secara luas oleh narasi umum sebagai “kemalasan”. Analisis psikologis menunjukkan hal yang jauh lebih dalam. Ini bukanlah tentang kemalasan; ini adalah tentang penetapan batas yang sadar.
“Quiet quitting” adalah respons adaptif terhadap “budaya hustle” (kerja keras berlebihan) yang menuntut pengorbanan total. Ini adalah penolakan massal dan sadar terhadap gagasan bahwa “pekerjaan adalah identitas Anda”.
Selama puluhan tahun, perusahaan secara implisit (dan seringkali eksplisit) menuntut karyawan untuk menjadikan pekerjaan sebagai pusat dari makna hidup mereka. “Budaya hustle” ini, yang diromantisasi di media sosial, pada dasarnya meminta Anda untuk menggabungkan “diri” Anda dengan “peran pekerja” Anda.
“Quiet quitting” adalah tindakan penyelamatan diri secara psikologis dari fusi yang tidak sehat ini. Ini adalah strategi koping untuk melindungi kesehatan mental. Ini adalah upaya untuk “mendiversifikasi portofolio identitas” Anda. Generasi baru secara naluriah memahami bahaya menempatkan seluruh konsep diri mereka dalam satu keranjang (pekerjaan) yang dapat diambil kapan saja oleh PHK atau atasan yang buruk.
Dengan bekerja “sesuai deskripsi pekerjaan dan tidak lebih”, individu sebenarnya sedang membangun rasa kontrol internal. Mereka secara sadar menolak untuk membiarkan satu peran (sebagai pekerja) mendefinisikan keseluruhan diri mereka. Mereka berkata, “Pekerjaan saya adalah apa yang saya lakukan dari jam 9 pagi sampai 5 sore. Itu bukan siapa saya.”
Sementara karyawan melakukan diversifikasi identitas mereka, perusahaan menghadapi biaya finansial yang besar karena gagal menumbuhkan rasa memiliki di tempat kerja. Data menunjukkan bahwa karyawan yang tidak merasa memiliki (belonging) memiliki kinerja lebih buruk, lebih sering sakit, dan 50% lebih mungkin untuk pindah. Kegagalan membangun koneksi tim kini memiliki label harga yang jelas, mencapai miliaran dolar dalam bentuk kehilangan produktivitas.
Mendesain Ulang Ekonomi Koneksi
Kita tidak sedang menghadapi tiga krisis terpisah. Epidemi kesepian, perang suku politik, dan gejolak di tempat kerja adalah tiga gejala dari satu penyakit inti yang sama: ketidakcocokan yang parah antara kebutuhan psikologis kuno kita dan infrastruktur sosial modern yang kita rancang.
Kabar baiknya? Semua ini bukanlah hukum alam. Ini adalah hasil dari pilihan desain. Kita merancang “Ekonomi Perhatian” (Attention Economy) yang mengekstraksi waktu dan perhatian kita demi keuntungan.
Kabar yang lebih baik lagi? Apa yang telah dirancang manusia, dapat dirancang ulang oleh manusia.
Tantangan besar abad ke-21 bukanlah teknologi baru apa yang akan kita ciptakan. Tantangannya adalah apakah kita memiliki kebijaksanaan untuk secara sadar merancang ulang infrastruktur digital, fisik, dan organisasi kita untuk beralih dari ekonomi yang mengekstraksi perhatian menjadi ekonomi yang menumbuhkan koneksi. Masa depan kohesi sosial, kesehatan demokrasi, dan kesejahteraan pribadi kita bergantung pada hal itu.










